cempaka sari

cempaka sari

Friday, October 15, 2010

Bugis Madagascar, Bugis Kalimantang Barat ,Bugis Pulau Serangan

Bugis Madagascar

Madagascar dengan ibukotanya Antananarivo dengan populasi 18,6 juta jiwa kita kenal sebagai sebuah negeri bekas koloni Perancis, yang berdaulat pada tahun 1947 atau lebih tepat kita katakan sebuah Kemerdekaan Hadiah, bukan sebuah kemenangan revolusi.
Tetapi dalam proses/perjalanan konstitusi dan referendum Negara baru secara penuh ditetapkan tanggal 26 Juni 1960 sebagai Hari Kemerdekaan Madagascar. Nama Antananarivo sendiri bermaknaTANAH 1000 pejuang, terukir melalui relief di gedung museum sejarah mereka ada 1000 pejuang yang tewas ketika mempertahankan kota dalam memperjuangkan kemerdekaan yang mereka tuntut pada masa itu.
Negeri yang dalam cerita lama lebih kita kenal melalui film RIN TINTIN cerita seekor anjing yang pintar (pada zaman TV masih B&W) sebagai pulau buangan para hukuman dengan luas pantainya sebesar 5000 km, cukup terkenal dengan kekayaan alamnya berupa batu permata, minyak-bumi, uranium.
Dari sinilah para pedagang dunia dari Eropa, Thailand, China, Sri-lanka, Malaysia dan Indonesia mengambil batu mulia sejenis Syafir Ruby & Emerald serta fosil kerang panca-warna berusia jutaan tahun yang bagi masyarakat China Hongkong rela membayar mahal dan selalu dikantongi sebagai pembawa rezeki & keberuntungan.
Sejarah mengukir pada zaman abad ke VII SM, Madagascar menjadi pulau tujuan dan persinggahan bahari nenek moyang pelaut Indonesia selain wilayah pesisir yang dihuni oleh kaum kulit hitam yang tidak jelas asal usulnya, sebagian menyebutnya dari Mozambique, sebuah pulau yang hanya terpisah sejarak benang tipis saja.
Inilah awal sejarah mengapa orang Madagascar lebih senang disebut bangsa Malagassy daripada bangsa Africa. Memang kalau kita melihat mereka tidak ada bedanya dengan orang Indonesia, warna kulit yang sawo matang, rambut yang ikal (tidak ngerungkel) seperti Africa pada umumnya dan postur badan Indonesia yang sedang-sedang saja dengan sorot mata khas Indonesia yang aduhai friendly.
Anda bisa lihat photo President Madagascar Marc Ravalomanana sama persis postur & bentuk wajahnya dengan orang Indonesia pada umumnya.
Siapa Marc, yang dalam kepiawaiannya digelanggang politik melalui pemilu 2002, Marc berkiblat dibawah panji Amerika yang memberi dukungan penuh ketika mengambil-alih kekuasaan sosialis dari penguasa lama, dan dia membawa perubahan demokrasi secara perlahan serta pemikiran yang maju untuk mencerdaskan rakyatnya. Dibawah kebijakannya pula dalam 10 tahun terakhir ini Bahasa Inggris menjadi mata pelajaran bahasa wajib dalam kurikulum pendidikan.
Secara resmi ada 2 bahasa official, bahasa Perancis mereka pakai sebagai bahasa kedua dan bahasa nasional mereka disebut Bahasa Merina dengan dialek Malagasy (campuran bahasa Melayu Indonesia). Awalnya Marc hanyalah seorang pengusaha trading/distribution consumer goods yang mengawali karirnya sebagai Walikota Tananarive dan sampai detik ini gurita bisnis sang presiden mulai mendominasi pangsa pasar consumer goods dari hulu sampai hilir.
Kembali kita ke awal cerita …
Dan memang dalam catatan sejarah Madagascar, mereka mengakui bahwa para leluhur mereka memang datang dari kepulauan Indonesia (Indonesia Timur dan Pulau Jawa). Sejarah ini juga tertulis di KBRI kita di Antananarivo.
Kalau melihat sejarah kelautan Madagascar dengan kehidupan budaya nelayannya ada dugaan sukuBUGIS atau Makasar dan suku JAWA yang pertama menemukan kepulauan ini pada abad ke VIISM tersebut.
Kata Makasar dipakai untuk sebutan bagi para seniman, pelukis dan pemahat – juru photo. Penulis belum menemukan apakah kata Madagascar berasal dari kata Makasar yang kemudian berubah karena pengaruh bahasa koloni Perancis. Dari sisi bahasa bisa pula ditelusuri banyak ditemukan kosa kata indonesia dan dialek daerah yang sama seperti (Joko/Jaka Rondo/janda-mambunuh-murah-salam-manjahit-minakan = dibaca makan-tai (maaf)=tai, bolo=dibaca bulu dll) untuk bilangan hitungan sama dengan bahasa jawa > Sidji – Loro – Telu – opat – limo dan seterusnya.
Berkaitan dengan bahasa ini, seorang Missionaris WNI dari Vatican Imprimerie Chatolic Romo Dosmen D. Marbun, telah menerbitkan sebuah buku percakapan pada 2006 lalu yang diakui KBRI &Kementerian Pendidikan & Budaya Madagascar, sebagai pembuktian Sejarah & Budaya. Bahwa Indonesia & Madagascar memang terkait erat, hubungan ini sampai saat ini terus berkesinabungan melalui pentas budaya, pendidikan beasiswa D1-S1 dan S2 yang tersebar di PTN di Jawa & SESKOAD.
Tercatat juga ada 2 Jendral dari Angkatan Bersenjata Madagascar yang merupakan Alumni Sesko-AD, Bandung dan 1 orang scholar Master di bidang agama Islam yang saat ini bekerja sebagai staff local di KBRI Antananarivo.
Dalam perjalanannya, KBRI kita juga membuka kursus Bahasa Indonesia dengan biaya relative murah dan cukup diminati generasi muda Malagasy. Kursus ini dibina dengan sangat baik oleh Drs. Adi Roagaswara, seorang alumni dari Universitas Pakuan Bogor. Uniknya di Mada (Maksudnya: Madagascar) berlaku 2 pemisahan asal, kita bisa melihat sebuah kondisi adanya 2 kasta yang berbeda, untuk Malagasy keturunan Indonesia dengan warna kulit yang sawo matang mereka sebut dirinya orang Tananarive (orang Kota), sedangkan orang Malagasy hitam dari keturunan Africa disebut orang pantai.
Dan untuk di pemerintahan pada umumnya didominasi orang Tananarive, orang pesisir pada umumnya banyak yang bekerja sebagai pedagang/kuli kasar dan comunitas mereka dalam catur pemerintahan/politik selalu di nomor-dua-kan oleh kaum berkuasa orang Tananarive.
Kesenjangan social memang cukup terlihat antara kaum Tananarive dan kaum pesisir. Sebuah celah dan potensi mudahnya membakar mereka yang dimanfaatkan oleh para pemain/konseptor catur politik dunia “AMERIKA“ karena kesenjangan inilah orang pantai membentuk aliansi politik sebagai partai oposisi.
Adalagi yang menarik dari orang Malagasy, banyak diantara orang Tananarive yang menikah dengan orang perancis dan keturunan mereka disebut Malagasy Methys, wajahnya sangat rupawan menawan dan umumnya diantara mereka banyak yang sukses dalam karir Business & Politik.
Namun demikian Madagascar masih tercatat dalam urutan ke-25 sebagai negara termiskin se-Africa yang beresiko tinggi untuk menjalin mitra business bagi investasi asing (Data survey 2005 African News).
DIEGO SUAREZ & SAINTE MARIE, adalah 2 pulau wisata yang sangat indah dan menawan atau dikenal juga dikalangan masyarakat Eropa sebagai pulau BALI-nya Madagascar.
Kedua pulau ini memberikan kontribusi bagi devisa negara dari kunjungan wisatawan dari manca negara … untuk sampai kesana via udara + – 1jam perjalanan atau 10 jam perjalanan via darat dari Antananarivo atau tepatnya kota wisata ini berada 3 jam perjalanan darat via Tamatave.
Jika kita berkunjung ke Diego Suarez ada pemandangan yang terasa janggal bagi kita dimana mana kita akan melihat PRIA TUA ber-usia 40 s/d 50 tahunan yang bergandengan tangan dengan dara dara muda belia seusia 15 tahunan … sesungguhnya mereka adalah pasangan suami istri .
Disini ada tradisi yang sudah mengakar para lelakinya selalu kawin dalam usia tua dengan gadis gadis muda yang masih begitu ranum & mengkal (emangnya mangga muda eeehhh).
Memang ada Alkisahnya kata yang empunya cerita … bahwa para pria di Diego Suarez termakan oleh kutukan para leluhurnya (di Mada kepercayaan Animisme/traditional masih mendominasi 50 % dari kepercayaan yang ada/Islam hanya 10 % dan 40% Kristen & Katolik ) dan sampai saat ini kehidupan SEX bebas masih menjadi tradisi umum yang dianggap sebagai hal biasa biasa saja dan kondisi ini jugalah yang menyebabkan AIDS tumbuh laksana jamur, adalah hal yang biasa anak dara seusia 12 tahunan sudah bukan perawan lagi.
Sementara untuk di SAINTE MARIE sendiri … dalam setiap bulan Sept s/d Des selalu dikunjungi wisatawan, ada yang unik disini… kalau di Indonesia kita tidak diperbolehkan untuk melihat ORANGKAWIN yang sedang berhubungan intim, maka di Saint Marie kita bisa melihat banyak IKAN PAUSyang sedang bercinta di dalam air (tanpa busana lagi eeehhh) jadi setiap 3 bulan dalam setahun ikan paus memasuki perairan Saint Marie untuk melakukan prosesi KAWIN MASSAL sesama paus betina, dan adegan ini bisa disaksikan para wisatawan dalam jarak 50 meter dari atas palka kapal wisata mungkin ada rasa malu diantara mereka kalau mereka kawin kita saksikan dalam jarak yang terlalu dekat, budaya paus-kawin ini tidak memerlukan tuan Kadhi eeehhh, cukup kesaksian para penonton.
Mempelajari kebiasan mereka (Ikan Paus-Kawin) yang selalu mudik untuk kawin ke Sainte Marie mungkin bagi mereka perairan ini begitu indahnya laksana sebuah peraduan pelaminan pengantin baru para selebritis.
Disini juga ada sebuah Hotel Terapung yang berada ditengah danau dangkal dan jika kita menginap disana kita harus berjalan di air sedalam 30 s/d 50 cm sembari menjunjung kopor , jadi bisa dibayangkan juga seandainya ada Tsunami disana bisa bisa kita terbawa harus kembali ke Ancol …siapa tauuuuuuuu. (ketika terjadi Tsunami di Indonesia, Madagascar tepatnya di Tamatave juga mengalami hal yang sama tetapi hanya tercatat beberapa orang saja korban dari kaum nelayan).
Bagi wisatawan yang berkantong tipis ada alternatif lain untuk menginap ditempat yang relatif lebih terjangkau seperti menginap di pondok pinggir pantai dibelahan sudut lain Sainte Marie yang disekeliling nya bertumbuhan pohon kelapa dan kalau lagi apes bisa bisa ketimpa buah kelapa tua yang jatuh diatap pondok penginapan . Tidaklah mengherankan setiap wisatawan yang datang dan menginap di pondok yang disampingnya ada pohon kelapa, sang receptionist selalu mengingatkan ketika ketika bercinta, jangan membuat gempa terlalu kuat agar kelapanya tidak jatuh berguguran(eeehhh ada ada aja mas.. ayoooo mas, siapa yang pingin bermain main dibawah pohon kelapa?).


Bugis Pulau Serangan

Orang Bugis di Pulau Serangan
Pulau Penyu atau Pulau Serangan di sebelah selatan Pulau Bali bukan hanya hamparan pasir putih dan panorama bahari. Namun sejarah tentang kerukunan antara warga berbeda suku. Tepatnya kekerabatan antara Bugis muslim dan warga setempat yang mayoritas Hindu. Mereka hidup rukun di satu perkampungan yaitu Kampung Bugis. Usman dan Ali, contoh sosok warga Kampung Bali yang lahir dari darah Sulawesi dan Bali. Ayah mereka Alkam berasal dari Sopeng, Sulawesi Selatan dan ibunya, Made Rentik asli dari Pulau Serangan. Setelah menikah, Made Rentik memeluk agama Islam dan mengganti namanya menjadi Aisyah.Usman dan Ali merupakan contoh hasil perkawinan campuran antara suku Bugis dan suku Bali. Tetapi, karena sejarahnya kampung itu tetap disebut Kampung Bugis. Diperkirakan orang Bugis mendarat di Pulau Serangan pada abad 17 atau setelah Belanda menguasai Kerajaan Gowa. Rombongan yang dipimpin Syekh Haji Mukmin meninggalkan Gowa karena tidak sepaham dengan peraturan Pemerintah Belanda. Apalagi ketika itu Belanda sangat mengendalikan kehidupan maritim setempat. “Jadi ada dua saudara. Satu pro-Belanda satu lagi anti-Belanda. Dia [anti-Belanda] terdampar di ujung timur Pulau Serangan,” ungkap M. Mansyur, sesepuh Kampung Bugis.Tiba di Pulau Serangan orang-orang Bugis mulai membangun perkampungan. Kedatangan mereka didengar oleh Raja Badung yang menguasai Pulau Serangan. Kelompok Syekh Haji Mukmin diundang ke kerajaan dan dimintai keterangan maksud datang ke Pulau Serangan. Raja Badung, Ida Cokorda Pemecutan XI membenarkan, masyarakat Pulau Serangan punya ikatan sejarah dan darah dengan orang-orang Bugis. “Leluhur kami ada menikah dengan seorang putri raja di Jawa. Ini bukan soal Bugis saja. Maduranya ada, masih campur mereka. Tapi apapun masa lalunya, kita ada hubungan erat dengan Bugis,” kata Ida Cokorda.
Ida Cokorda menunjukkan lokasi di luar Pulau Serangan, namun karena pada dasarnya mereka merupakan suku yang dekat dengan laut. Mereka memohon untuk pindah kembali ke Pulau Serangan. Permohonan mereka dikabulkan.
Usman dan Ali juga merupakan contoh orang-orang yang tetap menekuni dunia nelayan. Di luar Usman dan Ali atau sekitar 70 kepala keluarga di Kampung Bugis, lebih memilih pekerjaan berbeda. Industri pariwisata dan pesatnya pembangunan perlahan-lahan mengubah pola hidup warga setempat. Kalaupun mereka berada di laut, lebih karena sebagai penyedia jasa wisata bahari.
Kesetiaan Usman dan Ali meneruskan bakat nenek moyang juga diperkuat kepiawaian menyelam di laut. Mereka menyelam dengan peralatan sederhana sambil memanah ikan. Hampir segala jenis ikan pernah ditangkap termasuk ikan hias. Ikan tersebut dijual atau mereka makan sendiri.
Roda kehidupan Kampung Bugis yang sebenarnya lebih terlihat kala suara azan magrib terdengar. Setelah kumandang azan, seluruh warga akan datang ke Masjid Assyuhada yang merupakan satu-satunya masjid di Kampung Bugis. Usai menunaikan salat magrib, anak-anak berkumpul untuk belajar mengaji. Rutinitas ini persis dilakukan nenek moyang mereka di Sulawesi Selatan.
Kecintaan warga Kampung Bugis terhadap Islam, sejarah nenek moyang, adat istiadat Suku Bugis terlihat dari sebuah alquran tua. Mereka memelihara alquran tua itu karena konon dibawa Syekh Haji Mukmin. Ayat-ayat suci yang ditulis dalam lembaran kertas masih terbaca jelas. Kitab itu dibungkus dengan kain tebal berwarna hijau agar tidak rusak.
Alquran dalam berbagai kesempatan dibawa keliling kampung atau warga setempat menyebut acara ini dengan kirab. Mereka berkeliling sambil membaca salawat nabi. Kitab alquran tua, lantunan shalawat nabi, dan makam Syekh Haji Mukmin serta pengikutnya itu menjadi catatan penting keberadaan Suku Bugis di Pulau Serangan. Catatan ini terus dipelihara meski proses perkawinan antarsuku banyak terjadi. “Syekh Haji Mukmin Membawa bekal satu kitab alquran. Dia berpesan kalau ada musibah atau bahaya apapun, kamu harus mengelilingi kampung sambil membawa alquran ini,” tutur M. Mansyur. Sesepuh Kampung Bugis ini menambahkan, tidak seorang pun tahu termasuk Syekh Haji Mukmin, siapa penulis alquran tersebut. “Ini tulisan tangan,” kata Mansyur.
Di luar catatan sejarah dan budaya suku Bugis di Pulau Serangan, selama 14 tahun terakhir, warga Kampung Bugis dan warga lain dihadapkan pada persoalan baru, yaitu reklamasi pulau. Karena reklamasi, lahan yang tadinya hanya 112 hektare disulap menjadi 481 hektare. Keadaan ini membawa perubahan terhadap kehidupan masyarakat terutama menyangkut kondisi lingkungan dan lahan lakah.
Dampak lain, Usman dan Ali atau warga setempat juga makin sulit mencari ikan hias yang dulu sering mereka tangkap sambil menyelam. Kerusakan mangrove membuat ikan menjauh ke tengah samudra sehingga kehidupan bernelayan sangat terganggu. Cara hidup orang Bugis kini bergeser ke daratan. Kalaupun masih ada yang bertahan sebagai nelayan, karena tidak punya pilihan lain. “Jadi, walaupun ada pendatang, tapi rel-rel dasar mereka tetap Bugis, tetap orang Jawa tetap orang Madura, dan kami juga tetap Hindu. Tetapi menghadapi hal-hal yang negatif, kami tetap satu,” kata Ida Cokorda.
Kendati begitu, Ida Cokorda memastikan warga Pulau Serangan tidak akan kehilangan identitas karena mereka seperti ikan berenang di laut. “Walaupun air laut asin, tapi kami [ikan] tidak asin,” kata Ida Cokorda. Mansyur juga memastikan kerukunan antar penganut agama berbeda di Pulau Serangan termasuk nomor satu di seputar Bali. “Tidak pernah satu kali pun dari dulu terjadi [keributan],” tegas Mansyur.(KEN/Tim Liputan Potret)


Bugis Kalimantang Barat

Masuknya Etnis Bugis di Kalimantan Barat
Masuknya orang Bugis di Kalimantan Barat bermula dari kedatangan Daeng Mataku yang menikah dengan Ratu Malaya, salah seorang anak Pangeran Agung dari Kerajaan Sukadana. Daeng Mataku ini pernah membantu menyerang Istana Sultan Zainuddin; pada tahun 1710 atas suruhan Pangeran Agung, saudara kandung Zainuddin. Karena jasanya itu, Daeng Mataku diangkat menjadi panglima. Keturunan Daeng Mataku kini tersebar di daerah Sukadana dan sekitarnya.
Atas permintaan Sultan Zainuddin untuk mengatasi perang saudara di kerajaannya, kemudian datang pula Upu Daeng Manambon asal Luwuk bersama saudara-saudaranya, Upu Daeng Merewah, Upu Daeng Perani, Upu Daeng Celak dan Upu Daeng Kemasi. Mereka berhasil memenangi perang tersebut. Upu Daeng Manambon kemudian digelari Pangeran Emas Surya Negara dan menikahi Puteri Kesumba, anak Sultan Zainuddin dengan Utin Indrawati dari Kerajaan Mempawah. Daeng Menambon kemudian menggantikan Panembahan Senggauk sebagai raja di Mempawah. Untuk mengenang kedatangan Daeng Menambon ke Mempawah, hingga kini masyarakat Mempawah mengadakan upacara robo’-robo’.
Dalam perkembangannya, orang Bugis kini tersebar di seluruh wilayah Kalimantan Barat dan membaur dengan etnis lain yang ada, terutama Melayu. Di Ketapang mereka menetap di Sungai Puteri, Satong, Siduk, Semanai, Melinsum, Sukadana, Rantau Panjang dan Teluk Batang. Di Pontianak terdapat di Segedong, Teluk Pakedai, Batu Ampar, Sungai Kakap dan beberapa kawasan di kota Pontianak.
Di kota Pontianak ada dua kampung Bugis, yakni Bugis Dalam dan Bugis Luar. Keduanya terletak di kawasan Tanjung Hilir, bersebelahan dengan Kampung Arab dan Keraton Kadariyah. Kampung Bugis tersebut sudah ada sejak zaman kesultanan Pontianak, didirikan seorang Bugis kerabat keraton Pontianak, Syarif Acmad yang mempersunting Daeng Madiana, seorang gadis Bugis dari daerah Donggala. Saat ini Kampung Bugis tidak lagi hanya dihuni oleh orang Bugis, tetapi juga penduduk dari suku lain, seperti Melayu, Cina, Madura, Sunda, Jawa dan Dayak.
Orang Bugis terkenal pekerja keras dan ulet, serta masih memegang teguh adat dan tradisi mereka. Di Segedong misalnya, mereka masih melaksanakan upacara adat ritual kelahiran, kematian dan adat lainnya.

No comments:

Post a Comment