cempaka sari

cempaka sari

Wednesday, October 6, 2010

BANI JAWI

Kanjeng Sunan Drajad

Diantara para wali, mungkin Sunan Drajat yang punya nama paling banyak. Semasa muda ia dikenal sebagai Raden Qasim, Qosim, atawa Kasim. Masih banyak nama lain yang disandangnya di berbagai naskah kuno. Misalnya Sunan Mahmud, Sunan Mayang Madu, Sunan Muryapada, Raden Imam, Maulana Hasyim, Syekh Masakeh, Pangeran Syarifuddin, Pangeran Kadrajat, dan Masaikh Munat.
Dia adalah putra Sunan Ampel dari perkawinan dengan Nyi Ageng Manila, alias Dewi Condrowati. Empat putra Sunan Ampel lainnya adalah Sunan Bonang, Siti Muntosiyah, yang dinikahi Sunan Giri, Nyi Ageng Maloka, yang diperistri Raden Patah, dan seorang putri yang disunting Sunan Kalijaga. Akan halnya Sunan Drajat sendiri, tak banyak naskah yang mengungkapkan jejaknya.
Ada diceritakan, Raden Qasim menghabiskan masa kanak dan remajanya di kampung halamannya di Ampeldenta, Surabaya. Setelah dewasa, ia diperintahkan ayahnya, Sunan Ampel, untuk berdakwah di pesisir barat Gresik. Perjalanan ke Gresik ini merangkumkan sebuah cerita, yang kelak berkembang menjadi legenda.
Syahdan, berlayarlah Raden Qasim dari Surabaya, dengan menumpang biduk nelayan. Di tengah perjalanan, perahunya terseret badai, dan pecah dihantam ombak di daerah Lamongan, sebelah barat Gresik. Raden Qasim selamat dengan berpegangan pada dayung perahu. Kemudian, ia ditolong ikan cucut dan ikan talang –ada juga yang menyebut ikan cakalang.
Dengan menunggang kedua ikan itu, Raden Qasim berhasil mendarat di sebuah tempat yang kemudian dikenal sebagai Kampung Jelak, Banjarwati. Menurut tarikh, persitiwa ini terjadi pada sekitar 1485 Masehi. Di sana, Raden Qasim disambut baik oleh tetua kampung bernama Mbah Mayang Madu dan Mbah Banjar.
Konon, kedua tokoh itu sudah diislamkan oleh pendakwah asal Surabaya, yang juga terdampar di sana beberapa tahun sebelumnya. Raden Qasim kemudian menetap di Jelak, dan menikah dengan Kemuning, putri Mbah Mayang Madu. Di Jelak, Raden Qasim mendirikan sebuah surau, dan akhirnya menjadi pesantren tempat mengaji ratusan penduduk.
Jelak, yang semula cuma dusun kecil dan terpencil, lambat laun berkembang menjadi kampung besar yang ramai. Namanya berubah menjadi Banjaranyar. Selang tiga tahun, Raden Qasim pindah ke selatan, sekitar satu kilometer dari Jelak, ke tempat yang lebih tinggi dan terbebas dari banjir pada musim hujan. Tempat itu dinamai Desa Drajat.
Namun, Raden Qasim, yang mulai dipanggil Sunan Drajat oleh para pengikutnya, masih menganggap tempat itu belum strategis sebagai pusat dakwah Islam. Sunan lantas diberi izin oleh Sultan Demak, penguasa Lamongan kala itu, untuk membuka lahan baru di daerah perbukitan di selatan. Lahan berupa hutan belantara itu dikenal penduduk sebagai daerah angker.
Menurut sahibul kisah, banyak makhluk halus yang marah akibat pembukaan lahan itu. Mereka meneror penduduk pada malam hari, dan menyebarkan penyakit. Namun, berkat kesaktiannya, Sunan Drajat mampu mengatasi. Setelah pembukaan lahan rampung, Sunan Drajat bersama para pengikutnya membangun permukiman baru, seluas sekitar sembilan hektare.
Atas petunjuk Sunan Giri, lewat mimpi, Sunan Drajat menempati sisi perbukitan selatan, yang kini menjadi kompleks pemakaman, dan dinamai Ndalem Duwur. Sunan mendirikan masjid agak jauh di barat tempat tinggalnya. Masjid itulah yang menjadi tempat berdakwah menyampaikan ajaran Islam kepada penduduk.
Sunan menghabiskan sisa hidupnya di Ndalem Duwur, hingga wafat pada 1522. Di tempat itu kini dibangun sebuah museum tempat menyimpan barang-barang peninggalan Sunan Drajat –termasuk dayung perahu yang dulu pernah menyelamatkannya. Sedangkan lahan bekas tempat tinggal Sunan kini dibiarkan kosong, dan dikeramatkan.
Sunan Drajat terkenal akan kearifan dan kedermawanannya. Ia menurunkan kepada para pengikutnya kaidah tak saling menyakiti, baik melalui perkataan maupun perbuatan. ”Bapang den simpangi, ana catur mungkur,” demikian petuahnya. Maksudnya: jangan mendengarkan pembicaraan yang menjelek-jelekkan orang lain, apalagi melakukan perbuatan itu.
Sunan memperkenalkan Islam melalui konsep dakwah bil-hikmah, dengan cara-cara bijak, tanpa memaksa. Dalam menyampaikan ajarannya, Sunan menempuh lima cara. Pertama, lewat pengajian secara langsung di masjid atau langgar. Kedua, melalui penyelenggaraan pendidikan di pesantren. Selanjutnya, memberi fatwa atau petuah dalam menyelesaikan suatu masalah.
Cara keempat, melalui kesenian tradisional. Sunan Drajat kerap berdakwah lewat tembang pangkur dengan iringan gending. Terakhir, ia juga menyampaikan ajaran agama melalui ritual adat tradisional, sepanjang tidak bertentangan dengan ajaran Islam.
Empat pokok ajaran Sunan Drajat adalah: Paring teken marang kang kalunyon lan wuta; paring pangan marang kang kaliren; paring sandang marang kang kawudan; paring payung kang kodanan. Artinya: berikan tongkat kepada orang buta; berikan makan kepada yang kelaparan; berikan pakaian kepada yang telanjang; dan berikan payung kepada yang kehujanan.
Sunan Drajat sangat memperhatikan masyarakatnya. Ia kerap berjalan mengitari perkampungan pada malam hari. Penduduk merasa aman dan terlindungi dari gangguan makhluk halus yang, konon, merajalela selama dan setelah pembukaan hutan. Usai salat asar, Sunan juga berkeliling kampung sambil berzikir, mengingatkan penduduk untuk melaksanakan salat magrib.
”Berhentilah bekerja, jangan lupa salat,” katanya dengan nada membujuk. Ia selalu menelateni warga yang sakit, dengan mengobatinya menggunakan ramuan tradisional, dan doa. Sebagaimana para wali yang lain, Sunan Drajat terkenal dengan kesaktiannya. Sumur Lengsanga di kawasan Sumenggah, misalnya, diciptakan Sunan ketika ia merasa kelelahan dalam suatu perjalanan.
Ketika itu, Sunan meminta pengikutnya mencabut wilus, sejenis umbi hutan. Ketika Sunan kehausan, ia berdoa. Maka, dari sembilan lubang bekas umbi itu memancar air bening –yang kemudian menjadi sumur abadi. Dalam beberapa naskah, Sunan Drajat disebut-sebut menikahi tiga perempuan. Setelah menikah dengan Kemuning, ketika menetap di Desa Drajat, Sunan mengawini Retnayu Condrosekar, putri Adipati Kediri, Raden Suryadilaga.
Peristiwa itu diperkirakan terjadi pada 1465 Masehi. Menurut Babad Tjerbon, istri pertama Sunan Drajat adalah Dewi Sufiyah, putri Sunan Gunung Jati. Alkisah, sebelum sampai di Lamongan, Raden Qasim sempat dikirim ayahnya berguru mengaji kepada Sunan Gunung Jati. Padahal, Syarif Hidayatullah itu bekas murid Sunan Ampel.
Di kalangan ulama di Pulau Jawa, bahkan hingga kini, memang ada tradisi ”saling memuridkan”. Dalam Babad Tjerbon diceritakan, setelah menikahi Dewi Sufiyah, Raden Qasim tinggal di Kadrajat. Ia pun biasa dipanggil dengan sebutan Pangeran Kadrajat, atau Pangeran Drajat. Ada juga yang menyebutnya Syekh Syarifuddin.
Bekas padepokan Pangeran Drajat kini menjadi kompleks perkuburan, lengkap dengan cungkup makam petilasan, terletak di Kelurahan Drajat, Kecamatan Kesambi. Di sana dibangun sebuah masjid besar yang diberi nama Masjid Nur Drajat. Naskah Badu Wanar dan Naskah Drajat mengisahkan bahwa dari pernikahannya dengan Dewi Sufiyah, Sunan Drajat dikaruniai tiga putra.
Anak tertua bernama Pangeran Rekyana, atau Pangeran Tranggana. Kedua Pangeran Sandi, dan anak ketiga Dewi Wuryan. Ada pula kisah yang menyebutkan bahwa Sunan Drajat pernah menikah dengan Nyai Manten di Cirebon, dan dikaruniai empat putra. Namun, kisah ini agak kabur, tanpa meninggalkan jejak yang meyakinkan.
Tak jelas, apakah Sunan Drajat datang di Jelak setelah berkeluarga atau belum. Namun, kitab Wali Sanga babadipun Para Wali mencatat: ”Duk samana anglaksanani, mangkat sakulawarga….” Sewaktu diperintah Sunan Ampel, Raden Qasim konon berangkat ke Gresik sekeluarga. Jika benar, di mana keluarganya ketika perahu nelayan itu pecah? Para ahli sejarah masih mengais-ngais naskah kuno untuk menjawabnya.
Sumber : sunatullah.com

Kanjeng Sunan Muria

Raden Umar Said sedang asyik berceramah di padepokannya di Desa Colo, Kecamatan Dawe, Kudus, ketika seorang pemuda datang berkunjung. Tanpa tedeng aling-aling, pemuda itu, Raden Bambang Kebo Anabrang, mengaku sebagai putra Raden Umar. Raden Umar terkejut mendengarnya. Ia segera membantah dan mengusir Kebo Anabrang.
Tetapi, Kebo Anabrang tetap bersikeras, tak mau meninggalkan padepokan sebelum Raden Umar mengaku sebagai ayahnya. Karena terus didesak, Raden Umar akhirnya mengalah. Tapi dengan satu syarat: Kebo Anabrang harus memindahkan salah satu pintu gerbang Kerajaan Majapahit di Trowulan, Mojokerto, ke padepokannya dalam semalam. Padahal, jaraknya mencapai sekitar 350 kilometer.
Berkat kesaktian Kebo Anabrang, pintu gerbang itu enteng saja dipikulnya. Tetapi, dalam perjalanan, Kebo Anabrang dihadang Raden Ronggo dari Kadipaten Pasatenan Pati. Raden Ronggo juga memerlukan gerbang itu untuk mempersunting Roro Pujiwati, putri Kiai Ageng Ngerang. Siapa saja yang sanggup membawa gerbang Majapahit itu ke Juana berhak melamar Roro Pujiwati.
Terjadilah pertarungan sengit. Masing-masing mengeluarkan kesaktiannya. Raden Umar terpaksa turun langsung melerai pertengkaran itu. ”Siapa yang sanggup mengangkat pintu gerbang, dialah yang berhak,” kata Raden Umar. Ternyata, hanya Kebo Anabrang yang sanggup mengangkatnya. Ia pun melanjutkan perjalanan.
Tapi, apa lacur. Begitu melangkahkan kaki, terdengar kokok ayam bersahutan, pertanda pagi menjelang. Padahal, ia baru mencapai Dusun Rondole, Desa Muktiharjo, yang bejarak lima kilometer dari kota Pati. Konon, sampai kini pintu gerbang itu masih berdiri dan dikeramatkan penduduk setempat.
Itulah satu cuplikan cerita rakyat tentang Raden Umar Said, yang tak lain adalah Sunan Muria. Padepokannya di Colo terletak di lereng Gunung Muria, sekitar 800 meter di atas permukaan laut. Toh, kalaupun Kebo Anabrang berhasil, ia akan sulit menuliskan silsilahnya. Maklum, sampai kini belum ada telaah yang jelas mengenai asal-usul Sunan Muria.
Satu versi menyebutkan, Sunan Muria adalah putra Sunan Kalijaga. Ahli sejarah A.M. Noertjahjo (1974) dan Solihin Salam (1964, 1974) yakin dengan versi ini. Berdasarkan penelusuran mereka, pernikahan Sunan Kalijaga dengan Dewi Saroh binti Maulana Is-haq memperoleh tiga anak, yakni Sunan Muria, Dewi Rukayah, dan Dewi Sofiah.
Versi lain memaparkan, Sunan Muria adalah putra Raden Usman Haji alias Sunan Ngudung. Karya R. Darmowasito, Pustoko Darah Agung, yang berisi sejarah dan silsilah wali dan raja-raja Jawa, menyebutkan Sunan Muria sebagai putra Raden Usman Haji. Bahkan ada juga yang menyebutnya keturunan Tionghoa.
Dalam bukunya, Runtuhnya Kerajaan Hindhu-Jawa dan Timbulnya Negara-negara Islam di Nusantara (1968), Prof. Dr. Slamet Muljana menyebutkan ayah Sunan Muria, Sunan Kalijaga, tak lain seorang kapitan Tionghoa bernama Gan Sie Cang. Sunan Muria disebut ”tak pandai berbahasa Tionghoa karena berbaur dengan suku Jawa”.
Slamet mengacu pada naskah kuno yang ditemukan di Klenteng Sam Po Kong, Semarang, pada 1928. Pemerintahan Orde Baru ketika itu khawatir penemuan Slamet ini mengundang heboh. Akibatnya, karya Slamet itu masuk dalam daftar buku yang dilarang Kejaksaan Agung pada 1971. Sayang sekali, belum ada telaah mendalam mengenai berbagai versi itu.
Sejauh ini, karya Umar Hasyim, Sunan Muria: Antara Fakta dan Legenda (1983), bolehlah digolongkan penelitian awal yang mencoba menelusuri silsilah Sunan Muria secara lebih ilmiah. Ia berusaha membedakan cerita rakyat dengan fakta. Misalnya tentang Sunan Muria sebagai keturunan Tionghoa.
Umar mengumpulkan sejumlah pendapat ahli sejarah. Ternyata, keabsahan naskah kuno tadi meragukan, karena telah bercampur dengan dongeng rakyat. Walau begitu, Umar mengaku kadang-kadang terpaksa mengandalkan penafsirannya dalam menelusuri jejak Sunan Muria. Hasilnya, Umar cenderung pada versi Sunan Muria sebagai putra Sunan Kalijaga.
Toh, dari berbagai versi itu, tak ada yang meragukan reputasi Sunan Muria dalam berdakwah. Gayanya ”moderat”, mengikuti Sunan Kalijaga, menyelusup lewat berbagai tradisi kebudayaan Jawa. Misalnya adat kenduri pada hari-hari tertentu setelah kematian anggota keluarga, seperti nelung dino sampai nyewu, yang tak diharamkannya.
Hanya, tradisi berbau klenik seperti membakar kemenyan atau menyuguhkan sesaji diganti dengan doa atau salawat. Sunan Muria juga berdakwah lewat berbagai kesenian Jawa, misalnya mencipta macapat, lagu Jawa. Lagu sinom dan kinanti dipercayai sebagai karya Sunan Muria, yang sampai sekarang masih lestari.
Lewat tembang-tembang itulah ia mengajak umatnya mengamalkan ajaran Islam. Karena itulah, Sunan Muria lebih senang berdakwah pada rakyat jelata ketimbang kaum bangsawan. Maka daerah dakwahnya cukup luas dan tersebar. Mulai lereng-lereng Gunung Muria, pelosok Pati, Kudus, Juana, sampai pesisir utara.
Cara dakwah inilah yang menyebabkan Sunan Muria dikenal sebagai sunan yang suka berdakwah topo ngeli. Yakni dengan ”menghanyutkan diri” dalam masyarakat. Sampai kini, kompleks makam Sunan Muria, yang terletak di Desa Colo, tak pernah sepi dari penziarah. ”Kurang lebih ada sekitar 15.000 penziarah tiap hari,” tutur Muhammad Shohib, Ketua Yayasan Masjid dan Makam Sunan Muria.

Kanjeng Sunan Kudus

Meski namanya Sunan Kudus, ia bukanlah asli Kudus. Dia datang dari Jipang Panolan (ada yang mengatakan disebelah utara Blora), berjarak 25 kilometer ke arah barat kota Kudus, Jawa Tengah. Di sanalah ia dilahirkan, dan diberi nama Ja’far Shodiq. Ia adalah anak dari hasil perkawinan Sunan Undung atau Sunan Ngudung (Raden Usman Haji) dengan Syarifah, cucu Sunan Ampel. Semasa jayanya, Sultan Undung terkenal sebagai panglima perang yang tangguh.
Sampai suatu waktu, Sunan Undung tewas dalam peperangan antara Demak dan Majapahit. Setelah itu, Ja’far Shodiq menggantikan posisi ayahnya. Tugas utamanya ialah menaklukkan wilayah Kerajaan Majapahit untuk memperluas kekuasaan Demak. Kenyataannya, Ja’far Shodiq terbukti hebat di medan perang, tak kalah dengan kepiawaian ayahnya.
Ja’far Shodiq berhasil mengembangkan wilayah Kerajaan Demak, ke timur mencapai Madura, dan ke arah barat hingga Cirebon. Sukses ini kemudian memunculkan berbagai cerita kesaktian Ja’far Shodiq. Misalnya, sebelum perang, Ja’far Shodiq diberi badong –semacam rompi– oleh Sunan Gunung Jati. Badong itu dibawa berkeliling arena perang.
Dari badong sakti itu kemudian keluarlah jutaan tikus, yang juga ternyata sakti. Kalau dipukul, tikus itu bukannya mati, malah makin mengamuk sejadi-jadinya. Pasukan Majapahit ketakutan lari tunggang langgang. Dia juga punya sebuah peti, yang bisa mengeluarkan jutaan tawon. Banyak prajurit Majapahit yang tewas disengat tawon.
Yang pasti, pemimpin pasukan Majapahit, Adipati Terung, menyerah kepada pasukan Ja’far Shodiq. Usai perang, Ja’far Shodiq menikahi putri Adipati Terung, yang kemudian menghasilkan delapan anak. Selama hidupnya, Ja’far Shodiq sendiri juga punya istri lain, antara lain putri Sunan Bonang, yang menghasilkan satu anak.
Sukses mengalahkan Majapahit membuat posisi Ja’far Shodiq makin kokoh. Dia mendapat tugas lanjutan untuk mengalahkan Adipati Handayaningrat, yang berniat makar terhadap Kerajaan Demak. Adipati Handayaningrat merupakan gelar yang disandang Kebo Kenanga, penguasa daerah Pengging –wilayah Boyolali– dan sekitarnya.
Kebo Kenanga berniat mendirikan negara sendiri bersama Ki Ageng Tingkir. Pasangan ini merupakan pengikut Syekh Siti Jenar, seorang guru yang mengajarkan hidup model sufi. Kebo Kenanga dan Tingkir digambarkan sebagai saudara seperjuangan, yang saling menyayangi bagaikan saudara kandung.
Tanda-tanda pembangkangan Kebo Kenanga makin kentara ketika ia menolak menghadap Raja Demak, Adipati Bintara, atau yang lebih dikenal dengan sebutan Raden Patah. Surat panggilan yang dibuat Raden Patah ditelantarkan hingga tiga tahun oleh Kebo Kenanga. Maka, Raden Patah memutuskan untuk mematahkan pembangkangan Kebo Kenanga itu.
Raden Patah memerintahkan Ja’far Shodiq ”meredam” Kebo Kenanga. Dalam sebuah pertarungan, Kebo Kenanga tewas. Namun, kehebatan Ja’far Shodiq sebagai panglima perang lama-kelamaan surut. Bahkan, menjelang kepindahannya ke Kudus, Ja’far Shodiq tidak lagi menjadi panglima perang, melainkan menjadi penghulu masjid di Demak.
Terdapat beberapa versi tentang kepergian Ja’far Shodiq dari Demak. Ada kemungkinan, Ja’far Shodiq berselisih paham dengan Raja Demak. Kemungkinan lain, Ja’far Shodiq berselisih paham dengan Sunan Kalijaga. Dalam Serat Kandha disebutkan, Ja’far Shodiq memiliki murid, Pangeran Prawata. Belakangan, Pangeran Prawata justru mengakui Sunan Kalijaga sebagai guru baru.
Bagi Ja’far Shodiq, Pangeran Prawata durhaka karena mengakui dua guru sekaligus. Ketika Pangeran Prawata menjadi Raja Demak, Ja’far Shodiq berniat membunuhnya, melalui tangan Arya Penangsang, yang tiada lain dari pada adik kandung Prawata. Agaknya, Arya Penangsang tidak tega, maka dia pun menyuruh orang lain lagi, yang bernama Rangkud.
Pangeran Prawata akhirnya tewas bersama istrinya, setelah ditikam Rangkud. Jenazah Prawata bersandar ke badan istrinya, karena keduanya tertembus pedang. Rangkud juga mati. Sebab, tanpa diduga, sebelum mengembuskan napas penghabisan, Prawata sempat melempar keris Kiai Bethok ke tubuh Rangkud.
Versi lain menyebutkan, Ja’far Shodiq meninggalkan Demak karena alasan pribadi semata. Ia ingin hidup merdeka dan membaktikan seluruh hidupnya untuk kepentingan agama Islam. Belum jelas kapan persisnya Ja’far Shodiq tiba di Kudus. H.J. De Graaf dan T.H. Pigeaud dalam bukunya, Kerajaan Islam Pertama di Jawa, mencoba mengumpulkan beberapa catatan tentang aktivitas Ja’far Shodiq di sana.
Kedua peneliti itu menyatakan, ketika Ja’far Shodiq menginjakkan kaki di Kudus, kota itu masih bernama Tajug. Menurut penuturan warga setempat, yang mula-mula mengembangkan kota Tajug adalah Kiai Telingsing. Ada yang menyebut, Telingsing merupakan panggilan sederhana kepada The Ling Sing, orang Cina beragama Islam.
Cerita ini menunjukkan bahwa kota itu sudah berkembang sebelum kedatangan Ja’far Shodiq. Beberapa cerita tutur mempercayai bahwa Ja’far Shodiq merupakan penghulu Demak yang menyingkir dari kerajaan. Di Tajug, Ja’far Shodiq mula-mula hidup di tengah-tengah jamaah dalam kelompok kecil. Ada yang menafsirkan, jamaah Ja’far Shodiq itu merupakan para santri yang dibawanya dari Demak.
Mereka sekaligus para tentara yang ikut bersama-sama Ja’far Shodiq memerangi Majapahit. Versi lain menyebutkan, para pengikutnya itu merupakan warga setempat yang dipekerjakan Ja’far Shodiq untuk menggarap tanah ladang. Ini bisa ditafsirkan bahwa Ja’far Shodiq mula-mula hidup dari penghasilan menggarap lahan pertanian.
Setelah jamaahnya makin banyak, Ja’far Shodiq kemudian membangun masjid sebagai tempat ibadah dan pusat penyebaran agama. Tempat ibadah yang diyakini dibangun oleh Ja’far Shodiq adalah Masjid Menara Kudus, yang kini masih berdiri. Nama Ja’far Shodiq tercatat dalam inskripsi masjid tersebut.
Menurut catatan di situ, masjid ini didirikan pada 956 Hijriah, sama dengan 1549 Masehi. Dalam inskripsi terdapat kalimat berbahasa Arab yang artinya, ”… Telah mendirikan masjid Aqsa ini di negeri Quds…” Sangat jelas bahwa Ja’far Shodiq menamakan masjid itu dengan sebutan Aqsa, setara dengan Masjidil Aqsa di Yerusalem.
Kota Tajug juga mendapat nama baru, yakni Quds, yang kemudian berubah menjadi Kudus. Pada akhirnya, Ja’far Shodiq sendiri lebih terkenal dengan sebutan Sunan Kudus. Dalam menyebarkan agamanya, Sunan Kudus mengikuti gaya Sunan Kalijaga, yakni menggunakan model ”tutwuri handayani”. Artinya, Sunan Kudus tidak melakukan perlawanan frontal, melainkan mengarahkan masyarakat sedikit demi sedikit.
Ketika itu, masyarakat Kudus masih didominasi penganut Hindu. Maka, Sunan Kudus pun berusaha memadukan kebiasaan mereka ke dalam syariat Islam secara halus. Misalnya, Sunan Kudus justru menyembelih kerbau, bukan sapi, pada saat hari raya Idul Qurban. Itu merupakan bagian dari penghormatan Sunan Kudus kepada para pengikut Hindu.
Cara yang simpatik itu membuat para penganut agama lain bersedia mendengarkan ceramah agama Islam dari Sunan Kudus. Surat Al-Baqarah, yang dalam bahasa Arab artinya sapi, sering dibacakan Sunan Kudus untuk lebih memikat pendengar. Pembangunan Masjid Kudus sendiri tidak meninggalkan unsur arsitektur Hindu. Bentuk menaranya tetap menyisakan arsitektur gaya Hindu.
Diantara bekas peninggalan beliau adalah Masjid Raya di-Kudus, yang kemudian dikenal dengan sebutan Masjid Menara Kudus. Oleh karena di halaman masjid tersebut terdapat sebuah menara kuno yang indah. Mengenai asal-usulnya nama Kudus menurut dongeng (legenda) yang hidup dikalangan masyarakat setempat ialah, bahwa dahulu Sunan Kudus pernah pergi naik haji sambil menuntut ilmu di tanah Arab, kemudian beliau juga mengajar di sana.
Pada suatu masa, di tanah arab konon berjangkit suatu wabah penyakit yang membahayakan, penyakit itu menjadi reda berkat jasa Sunan Kudus. Oleh karena itu, seorang amir disana berkenan untuk memberikan suatu hadiah kepada beliau. Akan tetapi beliau menolak, hanya kenang-kenangan sebuah batu yang beliau minta. Batu tersebut katanya berasal dari kota Baitul Makdis, atau Jeruzalem, maka sebagai peringatan kepada kota dimana Ja’far Sodiq hidup serta bertempat tinggal, kemudian diberikan nama Kudus. Bahkan menara yang terdapat di depan masjid itupun juga menjadi terkenal dengan sebutan Menara Kudus.
Mengenai nama Kudus atau Al Kudus ini di dalam buku Encyclopedia Islam antara lain disebutkan : Al kuds the usual arabic nama for Jeruzalem in later times, the olders writers call it commonly bait al makdis ( according to some : mukaddas ), with really meant the temple (of solomon), a translation of the hebrew bethamikdath, but it because applied to the whole town.”
Kebiasaan unik lain Sunan Kudus dalam berdakwah adalah acara bedug dandang, berupa kegiatan menunggu datangnya bulan Ramadhan. Untuk mengundang para jamaah ke masjid, Sunan Kudus menabuh beduk bertalu-talu. Setelah jamaah berkumpul di masjid, Sunan Kudus mengumumkan kapan persisnya hari pertama puasa.
Sekarang ini, acara dandangan masih berlangsung, tapi sudah jauh dari aslinya. Menjelang Ramadhan, banyak orang datang ke areal masjid. Tetapi, mereka bukan hendak mendengarkan pengumuman awal puasa, hanya untuk membeli berbagai juadah yang dijajakan para pedagang musiman.
Legenda Kota Kudus
Nama Sunan Kudus di kalangan masyarakat setempat, dimitoskan sebagai seorang tokoh yang terkenal dengan seribu satu tentang kesaktianya, Sunan Kudus dikatanya sebagai wali yang sakti, yang dapat diperbuat sesuatu di luar kesanggupan otak dan tenaga manusia biasa.Dalam dongeng yang masih hidup di kalangan masyarakat, antara lain dikatakan, bahwa pada zaman dahulu pernah Sunan Kudus pergi haji serta bermukim disana. Kemudian beliau menderita penyakit kudis ( bhs. Jawa : , sehingga oleh kawan – kawan beliau, Sunan Kudus dihina. Entah kenapa timbullah malapetaka yang menimpa negeri Arab dengan berjangkitnya wabah penyakit.
Segala daya upaya telah dilakukan untuk mengatasi bahaya tersebut, namun kiranya usaha itu sia – sia belaka. Akhirnya di mintalah bantuan beliau untuk memberikan jasa – jasa baiknya. Bahaya itupun karena kesaktian beliau menjadi reda kembali. Atas jasa beliau, Amir dari negeri Arab itupun berkenan memberi hadiah kepada beliau sebagai pembalasan jasa. Akan tetapi Sunan Kudus menolak pemberian hadiah berupa apapun juga. Dan beliau hanya meminta sebuah batu sebagai kenang – kenangan yang akan dipakai sebagai peringatan bagi pendirian masjid di Kudus.Jauh sebelum masjid kuno itu didirikan beliau konon kabarnya masjid yang terletak di desa Nganguk di Kudus itu adalah masjid Sunan Kudus yang pertama kali. Dalam dongeng di ceritakan, bahwa jauh sebelum Sunan Kudus memegang tampuk pimpinan di Kudus, telah ada seorang tokoh terkemuka disana ialah Kyai Telingsing. karena beliau sudah lanjut usia maka ia ingin mencari penggantinya.
Pada suatu hari Kyai Telingsing berdiri sambil menengok ke kanan dan ke kiri seperti ada yang dicarinya (bhs. Jawa : tiba – tiba Sunan Kudus pun muncul dari arah selatan, dan masjidpun segera dibinanya di dalam waktu yang amat singkat, malahan ada yang mengatakan bahwa masjid itu tiba – tiba muncul denga sendirinya (bhs. Jawa : Majid tibanberhubungan dengan itu desa tersebut kemudian di beri nama : Nganguk, sedangkan masjidnya dinamakan Masjid Nganguk Wali.
Lebih jauh dalam dongeng itupun disebutkan, bahwa baik Menara Kudus maupun lawang kembar, masing – masing di bawa oleh beliau dengan di bungkus sapu tangandari tanah Arab, sedangkan lawang kembar, katanya di pindahkan beliau dari Majapahit.
Legenda daerah Jember
Sekali peristiwa, datang seorang tamu bernama Ki Ageng Kedu yang hendak menghadap Sunan Kudus. tamu tersebut mengendarai sebuah tampah. sesampainya di Kudus Ki Ageng Kedu tidak lah langsung menghadap Sunan Kudus, melainkan memamerkan kesaktianya dengan mengendarai tampah serta berputar – putar diangkasa. Seketika dilihatnya oleh Sunan Kudus, maka beliau murka sambil mengatakan, bahwa tamu Ki Ageng Kedu ini menyombongkan kesaktianya. Sesudah di sabda oleh beliau, berkat kesaktian Sunan Kudus, tampah yang ditumpangi Ki Ageng Kedu itupun meluncur ke bawah hingga jatuh ke tanah yang becek (bhs. Jawa : “ngecember“) sehingga tempat tersebut kemudian dinamakan Jember
Selain itu di dalam dongeng di sebutkan bahwa pada suatu hari Sunan Kudus memakan ikan lele, kemudian setelah tinggal tulang dan kepalanya, dibuanglah oleh Sunan Kudus ke dalam sebuah sumur, maka ikan yang tinggal tulang dan kepala itupun hidup kembali.
Di dalam “Babad Tanah Jawi” serta kepustakaan Jawa lainya dikatakan, bahwa nama kecil Sunan Kudus ialah Raden Undung, beliau pernah memimpin tentara Demak melawan Majapahit. Selanjutnya juga di sebutkan bahwa Sunan Kudus lah yang membunuh Syekh Siti Jenar dan Kebo Kenanga, karena keduanya mengajarkan ilmu yang di pandang sangat membahayakan masyarakat yang baru saja memeluk agama Islam.

Kanjeng Sunan Gunung Jati

Di Kompleks pemakaman Gunung Sembung, sering terlihat penziarah –perorangan atau rombongan– dari kalangan etnis Cina. Sama dengan para saudaranya dari kalangan Islam, umat Buddha dan Konghucu itu bertujuan menyekar pemakaman yang terletak di Desa Astana, sekitar tiga kilometer di barat kota Cirebon, Jawa Barat, itu.
Untuk mereka disediakan ”kavling” khusus di sisi barat serambi depan kompleks pemakaman. Tentu bukan karena diskriminasi. ”Kami tak membeda-bedakan penziarah,” kata Yusuf Amir, salah seorang juru kunci kompleks pemakaman. ”Penziarah muslim ataupun nonmuslim semuanya bisa berdoa di sini,” Yusuf, 36 tahun, menambahkan.
Pemisahan tempat semata-mata karena ritual yang berbeda. Di sayap barat itu terdapat makam Ong Tien, salah seorang istri Syarif Hidayatullah, yang lebih dikenal dengan nama Sunan Gunung Jati. Dia adalah putri Kaisar Hong Gie dari Dinasti Ming. Banyak versi tentang perjodohan mereka. Yang paling spekatakuler tentulah versi ”nujum bertuah” Sunan Gunun Jati.
Syahdan, dalam persinggahannya di Cina, Syarif Hidayatullah menyebarkan Islam sambil berpraktek sebagai tabib. Setiap yang datang berobat diajarinya berwudu dan diajak salat. Manjur, si sakit sembuh. Dalam waktu singkat, nama Syarif Hidayatullah semerbak di kota raja. Kaisar pun kemudian tertarik menjajal kesaktian ”sinse” dari Tanah Pasundan itu.
Syarif Hidayatullah dipanggil ke istana. Sementara itu, Kaisar menyuruh putrinya yang masih gadis, Lie Ong Tien, mengganjal perutnya dengan baskom, sehingga tampak seperti hamil, kemudian duduk berdampingan dengan saudarinya yang memang sedang hamil tiga bulan. Syarif Hidayatullah disuruh menebak: mana yang bener-benar hamil.
Syarif Hidayatullah menunjuk Ong Tien. Kaisar dan para ”abdi dalem” ketawa terkekeh. Tapi, sejurus kemudian, istana geger. Ong Tien ternyata benar-benar hamil, sedangkan kandungan saudarinya justru lenyap. Kaisar meminta maaf kepada Syarif Hidayatullah, dan memohon agar Ong Tien dinikahi.
Sejarahwan Prof. Dr. Hoesein Djajadiningrat menyangsikan cerita ini. Dalam disertasinya di Universitas Leiden, Belanda, 1913, yang berjudul Critische Beschouwing van de Sadjarah Banten, Hoesein terang-terangan menyebutkan bahwa lawatan Syarif Hidayatullah ke negeri Cina hanya legenda.
Tentu tak semua sepakat dengan Hoesein. Meski tak menyebut-nyebut soal ”nujum” itu, dalam buku Sejarah Cirebon, 1990, Pangeran Soelaeman Sulendraningrat menyebutkan Syarif Hidayatullah memang pergi ke Cina. Ia sempat menetap di salah satu tempat di Yunan. Ia juga pernah diundang Kaisar Hong Gie.
Kebetulan, sekretaris kerajaan pada masa itu, Ma Huan dan Feishin, sudah memeluk Islam. Dalam pertemuan itulah Syarif Hidayatullah dan Ong Tien saling tertarik. Kaisar tak setuju. Syarif Hidayatullah lalu dipersonanongratakan. Tapi, kecintaan Ong Tien kepada Syarif Hidayatullah sudah sangat mendalam.
Dia mendesak terus ayahnya agar diizinkan menyusul kekasihnya ke Cirebon. Setelah mendapat izin, Ong Tien bertolak ke Cirebon dengan menggunakan kapal layar kerajaan Cina. Dia dikawal Panglima Lie Guan Cang, dengan nakhoda Lie Guan Hien. Putri membawa barang-barang berharga dari Istana Kerajaan Cina, terutama berbagai barang keramik.
Barang-barang kuno ini kini masih terlihat di sekitar Keraton Kasepuhan atau Kanoman, bahkan di kompleks pemakaman Gunung Sembung. Dari Ong Tien, Syarif Hidayatullah tak beroleh anak. Putri Cina itu keburu meninggal setelah empat tahun berumah tangga. Besar kemungkinan, sumber yang dirujuk P.S. Sulendraningrat adalah Carita Purwaka Caruban Nagari.
Naskah yang ditemukan pada l972 ini ditulis oleh Pangeran Arya Cirebon pada 1720. Banyak sejarahwan menilai, kisah Syarif Hidayatullah yang ditulis dalam kitab tersebut lebih rasional dibandingkan dengan legenda yang berkembang di masyarakat. Belakangan diketahui, Pangeran Arya mendasarkan penulisannya pada Pustaka Negara Kertabumi.
Naskah yang termaktub dalam kumpulan Pustaka Wangsa Kerta itu ditulis pada 1677-1698. Naskah ini dianggap paling dekat dengan masa hidup Syarif Hidayatullah, alias Sunan Gunung Jati. Dia lahir pada 1448, wafat pada 1568, dan dimakamkan di Pasir Jati, bagian tertinggi ”Wukir Saptarengga”, kompleks makam Gunung Sembung.
Cerita sering dirujuk para sejarahwan kiwari untuk menjungkirbalikkan penelitian Hoesein Djajadiningrat, yang menyimpulkan bahwa Sunan Gunung Jati dan Faletehan sebagai orang yang sama. Berdasarkan naskah tersebut, Sunan Gunung Jati bukan Falatehan, atawa Fatahillah. Tokoh yang lahir di Pasai, pada 1490, ini justru menantu Sunan Gunung Jati.
Tapi, apa boleh buat, pemikiran Hoesein ini berpengaruh besar dalam penulisan sejarah Indonesia. Buku-buku sejarah Indonesia, sejak zaman kolonial sampai Orde Baru, sering menyebut Fatahillah sebagai Sunan Gunung Jati. Padahal, di Gunung Sembung, Astana, masing-masing tokoh itu punya makam sendiri.
”Tak satu pun naskah asli Cirebon yang menyebutkan Sunan Gunung Jati sama dengan Fatahillah,” kata Dadan Wildan, seperti tertulis dalam disertasinya, Cerita Sunan Gunung Jati: Keterjalinan Antara Fiksi dan Fakta – Suatu Kajian Pertalian Antarnaskah Isi, dan Analisa Sejarah dalam Naskah-Naskah Tradisi Cirebon.
Dadan berhasil meraih gelar doktor ilmu sejarah dari Universitas Padjadjaran, Bandung, September lalu. Naskah yang ditelitinya, selain Carita Purwaka Caruban Nagari, adalah Caruban Kanda (1844), Babad Cerbon (1877), Wawacan Sunan Gunung Jati, Sajarah Cirebon, dan Babad Tanah Sunda –yang ditulis pertengahan abad ke-20.
Di naskah-naskah itulah bertebaran mitos kesaktian Sunan Gunung Jati, dari cincin Nabi Sulaiman sampai jubah Nabi Muhammad SAW. Tapi, mengenai asal usul Syarif Hidayatullah, semuanya sepakat ia berdarah biru, baik dari garis ayah maupun garis ibu. Ayahnya Sultan Mesir, Syarif Abdullah. Ibunya adalah Nyai Lara Santang.
Setelah menikah, putri raja Siliwangi dan adik Pangeran Walangsungsang itu memakai nama Syarifah Mudaim. Lara Santang dan Walangsungsang memperdalam agama Islam di Cirebon, berguru pada Syekh Idlofi Mahdi yang asal Baghdad. Syekh Idlofi terkenal juga dengan sebutan Syekh Djatul Kahfi atau Syekh Nurul Jati. Setelah khatam, keduanya disuruh ke Mekkah menunaikan ibadah haji.
Di situlah, seperti dikisahkan dalam Carita Purwakan Caruban Nagari, mereka bertemu dengan Patih Kerajaan Mesir, Jamalullail. Patih ini ditugasi Sultan Mesir, Syarif Abdullah, mencari calon istri yang wajahnya mirip dengan permaisurinya yang baru meninggal. Lara Santang kebetulan mirip, lalu diboyong ke Mesir.
Walasungsang pulang ke Jawa, kemudian jadi penguasa Nagari Caruban Larang –cikal bakal kerajaan Cirebon. Sejak itu dia lebih dikenal dengan sebutan Pangeran Cakrabuana. Dari perkawinan Syarif Abdullah-Syarifah Mudaim lahir Syarif Hidayatullah, pada 1448. Dalam usia 20 tahun, Syarif Hidayatullah pergi ke Mekah untuk memperdalam pengetahuan agama.
Selama empat tahun ia berguru kepada Syekh Tajuddin Al-Kubri dan Syekh Ata’ullahi Sadzili. Kemudian ia ke Baghdad untuk belajar tasauf, lalu kembali ke negerinya. Di Mesir, oleh pamannya, Raja Onkah, Syarif Hidayatullah hendak diserahi kekuasaan. Namun Syarif menolak, dan menyerahkan kekuasaan itu kepada adiknya, Syarif Nurullah.
Syarif Hidayatullah bersama ibunya pulang ke Cirebon, dan pada l475 tiba di Nagari Caruban Larang yang diperintah pamannya, Pangeran Cakrabuana. Empat tahun kemudian Pangeran Cakrabuana mengalihkan kekuasannnya kepada Syarif Hidayatullah, setelah sebelumnya menikahkan Syarif Hidayatullah dengan putrinya, Ratu Pakungwati.
Untuk keperluan dakwah, Syarif Hidayatullah pada tahun itu juga menikahi Ratu Kawunganten. Dari pernikahan ini, dia dikarunia dua putra, Ratu Winahon dan Pangeran Sabangkingking. Pangeran Sabangkingking kemudian dikenal sebagai Sultan Hasanudin, dan diangkat jadi Sultan Banten. Ratu Winahon, yang lebih dikenal dengan sebutan Ratu Ayu, dinikahkah dengan Fachrulllah Khan, alias Faletehan.

Kanjeng Sunan Kalijaga

Hutan Jatiwangi, pada suatu masa. Di rindang lebat pepohonan jati di kawasan Lasem, Rembang, Jawa Tengah, itu dua lelaki berbeda umur tegak berhadapan. Yang satu pemuda berpakaian serba hitam. Di depannya seorang pria lebih tua, dibalut busana serba putih. Sebatang tongkat menyangga tubuhnya.
Pemuda berbaju hitam itu bernama Lokajaya, berandal yang gemar membegal pejalan yang melewati hutan Jatiwangi. Ia silau oleh kemilau kuning keemasan gagang tongkat yang dibawa pria berjubah putih. Siapa pun orang berjubah putih itu, layaklah ia menjadi mangsa Lokajaya. Dan ketika tongkat itu direbut, orang tua tadi sama sekali tak berlawan.
Ia tersungkur di tanah, kehilangan keseimbangan. Tongkat berkepala emas itu berpindah tangan. Bangkit dari jatuhnya, orang tua itu memberi nasihat, dengan tutur kata lembut. Nasihat inilah yang mengubah jalan hidup Lokajaya. Ia menjadi murid orang tua itu –yang tiada lain daripada Sunan Bonang. Lokajaya sendiri kemudian dikenal sebagai Sunan Kalijaga.
Begitulah legenda Sunan Kalijaga mengalir, dalam berbagai versi. Jalan hidup sunan yang satu ini tercantum dalam berbagai naskah kuno, babad, serat, hikayat, atau hanya cerita tutur turun-temurun. Mudah dipahami kalau muatannya berbeda-beda. Begitu pula halnya dengan asal-usul Sunan Kalijaga.
Menurut Babad Tanah Jawi, Sunan Kalijaga adalah putra Wilwatikta, Adipati Tuban. Nama aslinya Raden Said, atau Raden Sahid. Menurut babad dan serat, Sunan Kalijaga juga disebut Syekh Malaya, Raden Abdurrahman, dan Pangeran Tuban. Gelar ”Kalijaga” sendiri punya banyak tafsir.
Ada yang menyatakan, asalnya dari kata jaga (menjaga) dan kali (sungai). Versi ini didasarkan pada penantian Lokajaya akan kedatangan Sunan Bonang selama tiga tahun, di tepi sungai. Ada juga yang menulis, kata itu berasal dari nama sebuah desa di Cirebon, tempat Sunan Kalijaga pernah berdakwah.
Kelahiran Sunan Kalijaga pun menyimpan misteri. Ia diperkirakan lahir pada 1430-an, dihitung dari tahun pernikahan Kalijaga dengan putri Sunan Ampel. Ketika itu Sunan Kalijaga diperkirakan berusia 20-an tahun. Sunan Ampel, yang diyakini lahir pada 1401, ketika menikahkan putrinya dengan Sunan Kalijaga, berusia 50-an tahun.
Sunan Kalijaga dilukiskan hidup dalam empat era pemerintahan. Yakni masa Majapahit (sebelum 1478), Kesultanan Demak (1481-1546), Kesultanan Pajang (1546-1568), dan awal pemerintahan Mataram (1580-an). Begitulah yang dinukilkan Babad Tanah Jawi, yang memerikan kedatangan Sunan Kalijaga ke kediaman Panembahan Senopati di Mataram.
Tak lama setelah itu, Sunan Kalijaga wafat. Jika kisah itu benar, Sunan Kalijaga hidup selama sekitar 150-an tahun! Tapi, lepas dari berbagai versi itu, kisah Sunan Kalijaga memang tak pernah padam di kalangan masyarakat pesisir utara Jawa Tengah, hingga Cirebon. Terutama caranya berdakwah, yang dianggap berbeda dengan metode para wali yang lain.
Ia memadukan dakwah dengan seni budaya yang mengakar di masyarakat. Misalnya lewat wayang, gamelan, tembang, ukir, dan batik, yang sangat populer pada masa itu. Babad dan serat mencatat Sunan Kalijaga sebagai penggubah beberapa tembang, di antaranya Dandanggula Semarangan –paduan melodi Arab dan Jawa.
Tembang lainnya adalah Ilir-Ilir, meski ada yang menyebutnya karya Sunan Bonang. Lariknya punya tafsir yang sarat dengan dakwah. Misalnya tak ijo royo-royo dak sengguh penganten anyar. Ungkapan ijo royo-royo bermakna hijau, lambang Islam. Sedangkan Islam, sebagai agama baru, diamsalkan penganten anyar, alias pengantin baru.
Peninggalan Sunan Kalijaga lainnya adalah gamelan, yang diberi nama Kanjeng Kyai Nagawilaga dan Kanjeng Kyai Guntur Madu. Gamelan itu kini disimpan di Keraton Yogyakarta dan Keraton Surakarta, seiring dengan berpindahnya kekuasan Islam ke Mataram. Pasangan gamelan itu kini dikenal sebagai gamelan Sekaten.
Karya Sunan Kalijaga yang juga menonjol adalah wayang kulit. Ahli sejarah mencatat, wayang yang digemari masyarakat sebelum kehadiran Sunan Kalijaga adalah wayang beber. Wayang jenis ini sebatas kertas yang bergambar kisah pewayangan. Sunan Kalijaga diyakini sebagai penggubah wayang kulit.
Tiap tokoh wayang dibuat gambarnya dan disungging di atas kulit lembu. Bentuknya berkembang dan disempurnakan pada era kejayaan Kerajaan Demak, 1480-an. Cerita dari mulut ke mulut menyebut, Kalijaga juga piawai mendalang. Di wilayah Pajajaran, Sunan Kalijaga lebih dikenal sebagai Ki Dalang Sida Brangti.
Bila sedang mendalang di kawasan Tegal, Sunan Kalijaga bersalin nama menjadi Ki Dalang Bengkok. Ketika mendalang itulah Sunan Kalijaga menyisipkan dakwahnya. Lakon yang dimainkan tak lagi bersumber dari kisah Ramayana dan Mahabarata. Sunan Kalijaga mengangkat kisah-kisah carangan.
Beberapa di antara yang terkenal adalah lakon Dewa Ruci, Jimat Kalimasada, dan Petruk Dadi Ratu. Dewa Ruci ditafsirkan sebagai kisah Nabi Khidir. Sedangkan Jimat Kalimasada tak lain perlambang dari kalimat syahadat. Bahkan kebiasan kenduri pun jadi sarana syiarnya.
Sunan Kalijaga mengganti puja-puji dalam sesaji itu dengan doa dan bacaan dari kitab suci Al-Quran. Di awal syiarnya, Kalijaga selalu berkeliling ke pelosok desa. Menurut catatan Prof. Husein Jayadiningrat, Kalijaga berdakwah hingga ke Palembang, Sumatera Selatan, setelah dibaiat sebagai murid Sunan Bonang.
Di Palembang, ia sempat berguru pada Syekh Sutabaris. Cuma, keberadaan Sunan Kalijaga di ”bumi Sriwijaya” itu tidak meninggalkan catatan tertulis. Hanya disebut dalam Babad Cerbon, Sunan Kalijaga tiba di kawasan Cirebon setelah berdakwah dari Palembang. Konon, Kalijaga ingin menyusul Sunan Bonang, yang pergi ke Mekkah.
Tapi, oleh Syekh Maulana Magribi, Kalijaga diperintahkan balik ke Jawa. Babad Cerbon menulis, Sunan Kalijaga menetap beberapa tahun di Cirebon, persisnya di Desa Kalijaga, sekitar 2,5 kilometer arah selatan kota. Pada awal kedatangannya, Kalijaga menyamar dan bekerja sebagai pembersih masjid Keraton Kasepuhan.
Di sinilah Sunan Kalijaga bertemu dengan Sunan Gunung Jati. Kisah pertemuannya rada-rada aneh. Sunan Gunung Jati sengaja menguji Kalijaga dengan sebongkah emas. Emas itu ditaruh di padasan, tempat orang mengambil wudu. Kalijaga sendiri tak kaget mengingat ajaran Sunan Ampel, ”ojo gumunan lan kagetan” (jangan mudah heran dan terkejut).
Ia ”menyulap” emas menjadi batu bata, dan menjadikannya tempat menaruh bakiak bagi orang yang berwudu. Giliran Sunan Gunung Jati yang takjub. Ia pun ”menganugerahkan” adiknya, Siti Zaenah, untuk diperistri Sunan Kalijaga. Hanya beberapa tahun Sunan Kalijaga dikisahkan menetap di Cirebon.
Dakwahnya berlanjut ke arah timur, lewat pesisir utara sampai ke Kadilangu, Demak. Di sinilah diyakini Sunan Kalijaga menetap lama hingga akhir hayatnya. Kadilangu merupakan tempat Sunan Kalijaga membina kehidupan rumah tangga. Istri yang disebut-sebut hanyalah Dewi Sarah, putri Maulana Ishak.
Pernikahan dengan Dewi Sarah itu membuahkan tiga anak, satu di antaranya Raden Umar Said, yang kelak bergelar Sunan Muria. Sunan Muria dan Sunan Kudus tergolong satu aliran dalam berdakwah dengan Sunan Kalijaga. Metode dakwah aliran Kalijaga itu amat keras ditentang Sunan Ampel, mertuanya, dan Sunan Drajat, kakak iparnya.
Hingga kini para pengikut ajaran Sunan Kalijaga, Sunan Muria, dan Sunan Kudus dikenal dengan sebutan kelompok ”Islam abangan”. Julukan ini hingga kini melekat pada masyarakat di sepanjang pesisir utara, dari Demak, Semarang, Tegal, hingga Cirebon. Selain dakwah dengan kontak budaya, kisah spektakuler lainnya adalah pendirian Masjid Agung Demak.
Babad Demak menyebutkan, masjid itu berdiri pada 1477, berdasarkan candrasengkala ”Lawang Trus Gunaning Janma” –bermakna angka 1399 tahun Saka. Kisah pendirian Masjid Agung Demak sendiri banyak bercampur dengan dongeng. Masih belum jelas, benarkah

Kanjeng sunan Ampel

Prabu Sri Kertawijaya tak kuasa memendam gundah. Raja Majapahit itu risau memikirkan pekerti warganya yang bubrah tanpa arah. Sepeninggal Prabu Hayam Wuruk dan Mahapatih Gajah Mada, kejayaan Majapahit tinggal cerita pahit. Perang saudara berkecamuk di mana-mana. Panggung judi, main perempuan, dan mabuk-mabukan menjadi ”kesibukan” harian kaum bangsawan –pun rakyat kebanyakan.
Melihat beban berat suaminya, Ratu Darawati merasa wajib urun rembuk. ”Saya punya keponakan yang ahli mendidik kemerosotan budi pekerti,” kata permaisuri yang juga putri Raja Campa itu. ”Namanya Sayyid Ali Rahmatullah, putra Kakanda Dewi Candrawulan,” Darawati menambahkan. Tanpa berpikir panjang, Kertawijaya mengirim utusan, menjemput Ali Rahmatullah ke Campa –kini wilayah Kamboja.
Ali Rahmatullah inilah yang kelak lebih dikenal sebagai Sunan Ampel. Cucu Raja Campa itu adalah putra kedua pasangan Syekh Ibrahim Asmarakandi dan Dewi Candrawulan. Ayahnya, Syekh Ibrahim, adalah seorang ulama asal Samarkand, Asia Tengah. Kawasan ini melahirkan beberapa ulama besar, antara lain perawi hadis Imam Bukhari.
Ibrahim berhasil mengislamkan Raja Campa. Ia kemudian diangkat sebagai menantu. Sejumlah sumber sejarah mencatat silsilah Ibrahim dan Rahmatullah, yang sampai pada Nabi Muhammad lewat jalur Imam Husein bin Ali. Tarikh Auliya karya KH Bisri Mustofa mencantumkan nama Rahmatullah sebagai keturunan Nabi ke-23.
Ia diperkirakan lahir pada 1420, karena ketika berada di Palembang, pada 1440, sebuah sumber sejarah menyebutnya berusia 20 tahun. Soalnya, para sejarawan lebih banyak mendiskusikan tahun kedatangan Rahmatullah di Pulau Jawa. Petualang Portugis, Tome Pires, menduga kedatangan itu pada 1443.
Hikayat Hasanuddin memperkirakannya pada sebelum 1446 –tahun kejatuhan Campa ke tangan Vietnam. De Hollander menulis, sebelum ke Jawa, Rahmatullah memperkenalkan Islam kepada Raja Palembang, Arya Damar, pada 1440. Perkiraan Tome Pires menjadi bertambah kuat. Dalam lawatan ke Jawa, Rahmatullah didampingi ayahnya, kakaknya (Sayid Ali Murtadho), dan sahabatnya (Abu Hurairah).
Rombongan mendarat di kota bandar Tuban, tempat mereka berdakwah beberapa lama, sampai Syekh Asmarakandi wafat. Makamnya kini masih terpelihara di Desa Gesikharjo, Palang, Tuban. Sisa rombongan melanjutkan perjalanan ke Trowulan, ibu kota Majapahit, menghadap Kertawijaya. Di sana, Rahmatullah menyanggupi permintaan raja untuk mendidik moral para bangsawan dan kawula Majapahit.
Sebagai hadiah, ia diberi tanah di Ampeldenta, Surabaya. Sejumlah 300 keluarga diserahkan untuk dididik dan mendirikan permukiman di Ampel. Meski raja menolak masuk Islam, Rahmatullah diberi kebebasan mengajarkan Islam pada warga Majapahit, asal tanpa paksaan. Selama tinggal di Majapahit, Rahmatullah dinikahkan dengan Nyai Ageng Manila, putri Tumenggung Arya Teja, Bupati Tuban.
Sejak itu, gelar pangeran dan raden melekat di depan namanya. Raden Rahmat diperlakukan sebagai keluarga keraton Majapahit. Ia pun makin disegani masyarakat. Pada hari yang ditentukan, berangkatlah rombongan Raden Rahmat ke Ampel. Dari Trowulan, melewati Desa Krian, Wonokromo, berlanjut ke Desa Kembang Kuning. Di sepanjang perjalanan, Raden Rahmat terus melakukan dakwah.
Ia membagi-bagikan kipas yang terbuat dari akar tumbuhan kepada penduduk. Mereka cukup mengimbali kipas itu dengan mengucapkan syahadat. Pengikutnya pun bertambah banyak. Sebelum tiba di Ampel, Raden Rahmat membangun langgar (musala) sederhana di Kembang Kuning, delapan kilometer dari Ampel.
Langgar ini kemudian menjadi besar, megah, dan bertahan sampai sekarang –dan diberi nama Masjid Rahmat. Setibanya di Ampel, langkah pertama Raden Rahmat adalah membangun masjid sebagai pusat ibadah dan dakwah. Kemudian ia membangun pesantren, mengikuti model Maulana Malik Ibrahim di Gresik. Format pesantrennya mirip konsep biara yang sudah dikenal masyarakat Jawa.
Raden Rahmat memang dikenal memiliki kepekaan adaptasi. Caranya menanamkan akidah dan syariat sangat memperhatikan kondisi masyarakat. Kata ”salat” diganti dengan ”sembahyang” (asalnya: sembah dan hyang). Tempat ibadah tidak dinamai musala, tapi ”langgar”, mirip kata sanggar. Penuntut ilmu disebut santri, berasal dari shastri –orang yang tahu buku suci agama Hindu.
Siapa pun, bangsawan atau rakyat jelata, bisa nyantri pada Raden Rahmat. Meski menganut mazhab Hanafi, Raden Rahmat sangat toleran pada penganut mazhab lain. Santrinya dibebaskan ikut mazhab apa saja. Dengan cara pandang netral itu, pendidikan di Ampel mendapat simpati kalangan luas. Dari sinilah sebutan ”Sunan Ampel” mulai populer.
Ajarannya yang terkenal adalah falsafah ”Moh Limo”. Artinya: tidak melakukan lima hal tercela. Yakni moh main (tidak mau judi), moh ngombe (tidak mau mabuk), moh maling (tidak mau mencuri), moh madat (tidak mau mengisap candu), dan moh madon (tidak mau berzina). Falsafah ini sejalan dengan problem kemerosotan moral warga yang dikeluhkan Sri Kertawijaya.
Sunan Ampel sangat memperhatikan kaderisasi. Buktinya, dari sekian putra dan santrinya, ada yang kemudian menjadi tokoh Islam terkemuka. Dari perkawinannya dengan Nyai Ageng Manila, menurut satu versi, Sunan Ampel dikaruniai enam anak. Dua di antaranya juga menjadi wali, yaitu Sunan Bonang (Makdum Ibrahim) dan Sunan Drajat (Raden Qosim).
Seorang putrinya, Asyikah, ia nikahkan dengan muridnya, Raden Patah, yang kelak menjadi sultan pertama Demak. Dua putrinya dari istri yang lain, Nyai Karimah, ia nikahkan dengan dua muridnya yang juga wali. Yakni Dewi Murtasiah, diperistri Sunan Giri, dan Dewi Mursimah, yang dinikahkan dengan Sunan Kalijaga.
Sunan Ampel biasa berbeda pendapat dengan putra dan murid-mantunya yang juga para wali. Dalam hal menyikapi adat, Sunan Ampel lebih puritan ketimbang Sunan Kalijaga. Sunan Kalijaga pernah menawarkan untuk mengislamkan adat sesaji, selamatan, wayang, dan gamelan. Sunan Ampel menolak halus.
”Apakah tidak khawatir kelak adat itu akan dianggap berasal dari Islam?” kata Sunan Ampel. ”Nanti bisa bidah, dan Islam tak murni lagi.” Pandangan Sunan Ampel didukung Sunan Giri dan Sunan Drajat. Sementara Sunan Kudus dan Sunan Bonang menyetujui Sunan Kalijaga. Sunan Kudus membuat dua kategori: adat yang bisa dimasuki Islam, dan yang sama sekali tidak.
Ini mirip dengan perdebatan dalam ushul fiqih: apakah adat bisa dijadikan sumber hukum Islam atau tidak. Meski demikian, perbedaan itu tidak mengganggu silaturahmi antarpara wali. Sunan Ampel memang dikenal bijak mengelola perbedaan pendapat. Karena itu, sepeninggal Maulana Malik Ibrahim, ia diangkat menjadi sesepuh Wali Songo dan mufti (juru fatwa) se-tanah Jawa.
Menurut satu versi, Sunan Ampel-lah yang memprakarsai pembentukan Dewan Wali Songo, sebagai strategi menyelamatkan dakwah Islam di tengah kemelut politik Majapahit. Namun, mengenai tanggal wafatnya, tak ada bukti sejarah yang pasti. Sumber-sumber tradisional memberi titimangsa yang berbeda.
Babad Gresik menyebutkan tahun 1481, dengan candrasengkalaNgulama Ampel Seda Masjid”. Cerita tutur menyebutkan, beliau wafat saat sujud di masjid. Serat Kanda edisi Brandes menyatakan tahun 1406. Sumber lain menunjuk tahun 1478, setahun setelah berdirinya Masjid Demak. Ia dimakamkan di sebelah barat Masjid Ampel, di areal seluas 1.000 meter persegi, bersama ratusan santrinya.
Kompleks makam tersebut dikelilingi tembok besar setinggi 2,5 meter. Makam Sunan Ampel bersama istri dan lima kerabatnya dipagari baja tahan karat setinggi 1,5 meter, melingkar seluas 64 meter persegi. Khusus makam Sunan Ampel dikelilingi pasir putih. Setiap hari, penziarah ke makam Sunan Ampel rata-rata 1.000 orang, dari berbagai pelosok Tanah Air.
Jumlahnya bertambah pada acara ritual tertentu, seperti saat Haul Agung Sunan Ampel ke-552, awal November lalu. Pengunjungnya membludak sampai 10.000 orang. Kalau makam Maulana Malik Ibrahim sepi penziarah di bulan Ramadhan, makam Sunan Ampel justru makin ramai 24 jam pada bulan puasa.
Sumber : sunatullah.com

Kanjeng Sunan Bonang

Tamba ati iku lima sak warnane
Maca Qur’an angen-angen sak maknane
Kaping pindo, sholat wengi lakonana
Kaping telu, wong kang soleh kencanana
Kaping papat kudu wetheng ingkang luwe
Kaping lima dzikir wengi ingkang suwe

MENURUT tembang ini, ada lima macam ”penawar hati”, atau pengobat jiwa yang ”sakit”. Yakni membaca Al-Quran, mengerjakan salat tahajud, bersahabat dengan orang saleh, berzikir, dan hidup prihatin. Inilah pula yang sering dilantunkan Emha Ainun Nadjib bersama Kelompok Kyai Kanjeng, dalam sejumlah pergelarannya.
Di luar acara Emha, Tamba Ati hingga kini masih kerap dinyanyikan sejumlah santri di pesantren dan masjid di sejumlah desa. Tapi Cak Nun –demikian Emha biasa disapa– bukan pencipta ”lagu” itu. Tembang ini adalah peninggalan Raden Maulana Makdum Ibrahim, yang lebih dikenal sebagai Sunan Bonang.
Pada masa hidupnya, Sunan Bonang menyanyikan Tamba Ati untuk menarik warga masyarakat agar memeluk Islam. Pada saat berdendang, pria yang diduga berusia 60 tahun itu menabuh gamelan dari kuningan, yang dibuat oleh sejumlah warga Desa Bonang, Jawa Timur. Nama desa inilah yang kemudian melekat pada gelar sang Sunan.
Meski terampil, Sunan Bonang bukan putra penabuh gamelan. Ia justru putra Sunan Ampel, yang menikah dengan Condrowati, alias Nyai Ageng Manila. Nyai Ageng merupakan anak angkat Ario Tedjo, Bupati Tuban. Tidak ada catatan mengenai tanggal kelahiran Raden Makdum. Diduga, ia lahir di daerah Bonang, Tuban, pada 1465.
Sunan Ampel semula memberi ia nama Maulana Makdum. Nama ini diambil dari bahasa Hindi, yang bermakna cendekiawan Islam yang dihormati karena kedudukannya dalam agama. Semasa kecil, Sunan Bonang sudah mendapat pelajaran dari ayahnya, Sunan Ampel, dengan disiplin yang ketat. Tak heran jika dia pun, kemudian, terhisab ke dalam Wali nan Sembilan.
Sunan Ampel kemudian mengirim Sunan Bonang ke Negeri Pasai, Aceh masa kini. Di sana Sunan Bonang menuntut ilmu pada Syekh Awwalul Islam, ayah kandung Raden Paku alias Sunan Giri. Bersama Raden Paku, ia juga belajar pada sejumlah ulama besar yang banyak menetap dan mengajar di Pasai, seperti ulama ahli tasawuf dari Baghdad, Mesir, dan Iran.
Pulang dari menuntut ilmu, Sunan Bonang diminta Sunan Ampel berdakwah di Tuban, Pati, Pulau Madura, dan Pulau Bawean di utara Pulau Jawa. Seperti halnya Raden Paku alias Sunan Giri, yang mendirikan pesantren di Gresik, Sunan Bonang juga mendirikan pesantren di Tuban.
Dalam berdakwah, Sunan Bonang kerap menggunakan kesenian rakyat untuk menarik simpati masyarakat, antara lain dengan seperangkat gamelan Bonang. Bila dipukul dengan kayu lunak, bonang itu melantunkan bunyi yang merdu. Bila Sunan Bonang sendiri yang menabuhnya, gaung sang bonang sangat menyentuh hati para pendengarnya.
Masyarakat yang mendengarnya berbondong-bondong datang ke masjid. Sunan Bonang lalu menerjemahkan makna tembangnya. Karena kekuatan suaranya itu pula, Sunan Bonang juga mendapat julukan lain: Sang Mahamuni. Tembang itu berisi ajaran Islam, sehingga tanpa sengaja mereka telah diberi penghayatan baru.
Pada masa itu, daerah Bonang masih berada di bawah kekuasaan Kerajaan Majapahit, yang mayoritas –dan ”resmi”– beragama Hindu. Kebetulan, para penganut Hindu ketika itu sangat akrab dengan musik gamelan. Pengaruh gendingnya cukup melegenda. Bahkan gamelan itu telah menjadi bagian dari cerita kesaktian Sunan Bonang.
Misalnya dikisahkan, ia pernah menaklukkan Kebondanu, seorang pemimpin perampok, dan anak buahnya, hanya menggunakan tembang dan gending Dharma dan Mocopat. Begitu gending ditabuh, Kebondanu dan anak buahnya tidak mampu menggerakkan tubuhnya. ”Ampun… hentikan bunyi gamelan itu. Kami tak kuat,” begitu konon kata Kebondanu.
Setelah diminta bertobat, Kebondanu dan gerombolannya pun menjadi pengikut Sunan Bonang. Tapi, kesaktian Sunan Bonang tak hanya terletak pada gamelan dan gaungnya. Cerita lain mengisahkan seorang brahmana, yang berlayar dari India ke Tuban. Tujuannya: ingin mengadu kesaktian dengan Sunan Bonang.
Namun, sebelum mendarat di Tuban, kapalnya dihajar ombak. Akibatnya, kitab-kitab kesaktiannya hanyut terbawa air. Beruntung, sang brahmana berhasil mencapai pantai. Di tepian laut itu ia berjumpa dengan seorang pria berjubah putih. Kepada pria itu ia menyatakan ingin berjumpa dengan Sunan Bonang untuk uji kesaktian.
Tapi, demikian katanya, ia tak lagi mampu melakukannya, karena semua kitabnya sudah raib di telan ombak. Pria berjubah itu mencabut tongkatnya yang tertancap di pasir pantai. Air muncrat dari lobang bekas tongkat itu… bersama semua kitab sang brahmana. Setelah pria tadi menyebut namanya, yang tiada lain daripada Sunan Bonang, Brahmana itu berlutut.
Pada masa hidupnya, Sunan Bonang termasuk penyokong kerajaan Islam Demak, dan ikut membantu mendirikan Masjid Agung Demak. Oleh masyarakat Demak ketika itu, ia dikenal sebagai pemimpin bala tentara Demak. Dialah yang memutuskan pengangkatan Sunan Ngudung sebagai panglima tentara Islam Demak.
Ketika Sunan Ngudung gugur, Sunan Bonang pula yang mengangkat Sunan Kudus sebagai panglima perang. Nasihat yang berharga diberikan pula pada Sunan Kudus tentang strategi perang menghadapi Majapahit. Selain itu, Sunan Bonang dipandang adil dalam membuat keputusan yang memuaskan banyak orang, melalui sidang-sidang ”pengadilan” yang dipimpinnya.
Misalnya dalam kisah pengadilan atas diri Syekh Siti Jenar, alias Syekh Lemah Abang. Lokasi ”pengadilan” itu sendiri punya dua versi. Satu versi mengatakan, sidang itu dilakukan di Masjid Agung Kasepuhan, Cirebon. Tapi, versi lain menyebutkan, sidang itu diselenggarakan di Masjid Agung Demak. Sunan Bonang juga berperan dalam pengangkatan Raden Patah.
Dalam menyiarkan ajaran Islam, Sunan Bonang mengandalkan sejumlah kitab, antara lain Ihya Ulumuddin dari al-Ghazali, dan Al-Anthaki dari Dawud al-Anthaki. Juga tulisan Abu Yzid Al-Busthami dan Syekh Abdul Qadir Jaelani. Ajaran Sunang Bonang, menurut disertasi JGH Gunning dan disertasi BJO Schrieke, memuat tiga tiang agama: tasawuf, ussuludin, dan fikih.
Ajaran tasawuf, misalnya, menurut versi Sunan Bonang menjadi penting karena menunjukkan bagaimana orang Islam menjalani kehidupan dengan kesungguhan dan kecintaannya kepada Allah. Para penganut Islam harus menjalankan, misalnya, salat, berpuasa, dan membayar zakat. Selain itu, manusia harus menjauhi tiga musuh utama: dunia, hawa nafsu, dan setan.
Untuk menghindari ketiga ”musuh” itu, manusia dianjurkan jangan banyak bicara, bersikap rendah hati, tidak mudah putus asa, dan bersyukur atas nikmat Allah. Sebaliknya, orang harus menjauhi sikap dengki, sombong, serakah, serta gila pangkat dan kehormatan. Menurut Gunning dan Schrieke, naskah ajaran Sunan Bonang merupakan naskah Wali Songo yang relatif lebih lengkap.
Ajaran wali yang lain tak ditemukan naskahnya, dan kalaupun ada, tak begitu lengkap. Di situ disebutkan pula bahwa ajaran Sunan Bonang berasal dari ajaran Syekh Jumadil Kubro, ayahanda Maulana Malik Ibrahim, yang menurunkan ajaran kepada Sunan Ampel, Sunan Bonang, Sunan Drajat, Sunan Kalijaga, dan Sunan Muria.
Sunan Bonang wafat di Pulau Bawean, pada 1525. Saat akan dimakamkan, ada perebutan antara warga Bawean dan warga Bonang, Tuban. Warga Bawean ingin Sunan Bonang dimakamkan di pulau mereka, karena sang Sunan sempat berdakwah di pulau utara Jawa itu. Tetapi, warga Tuban tidak mau terima. Pada malam setelah kematiannya, sejumlah murid dari Bonang mengendap ke Bawean, ”mencuri” jenazah sang Sunan.
Esoknya, dilakukanlah pemakaman. Anehnya, jenazah Sunan Bonang tetap ada, baik di Bonang maupun di Bawean! Karena itu, sampai sekarang, makam Sunan Bonang ada di dua tempat. Satu di Pulau Bawean, dan satunya lagi di sebelah barat Masjid Agung Tuban, Desa Kutareja, Tuban. Kini kuburan itu dikitari tembok dengan tiga lapis halaman. Setiap halaman dibatasi tembok berpintu gerbang.
Sumber : sunatullah.com

Kanjeng Sunan Gresik

Maulana Malik Ibrahim, atau Makdum Ibrahim As-Samarkandy diperkirakan lahir di Samarkand, Asia Tengah, pada paruh awal abad 14. Babad Tanah Jawi versi Meinsma menyebutnya Asmarakandi, mengikuti pengucapan lidah Jawa terhadap As-Samarkandy, berubah menjadi Asmarakandi
Maulana Malik Ibrahim kadang juga disebut sebagai Syekh Magribi. Sebagian rakyat malah menyebutnya Kakek Bantal. Ia bersaudara dengan Maulana Ishak, ulama terkenal di Samudra Pasai, sekaligus ayah dari Sunan Giri (Raden Paku). Ibrahim dan Ishak adalah anak dari seorang ulama Persia, bernama Maulana Jumadil Kubro, yang menetap di Samarkand. Maulana Jumadil Kubro diyakini sebagai keturunan ke-10 dari Syayidina Husein, cucu Nabi Muhammad saw.
Maulana Malik Ibrahim pernah bermukim di Campa, sekarang Kamboja, selama tiga belas tahun sejak tahun 1379. Ia malah menikahi putri raja, yang memberinya dua putra. Mereka adalah Raden Rahmat (dikenal dengan Sunan Ampel) dan Sayid Ali Murtadha alias Raden Santri. Merasa cukup menjalankan misi dakwah di negeri itu, tahun 1392 M Maulana Malik Ibrahim hijrah ke Pulau Jawa meninggalkan keluarganya.
Beberapa versi menyatakan bahwa kedatangannya disertai beberapa orang. Daerah yang ditujunya pertama kali yakni desa Sembalo, daerah yang masih berada dalam wilayah kekuasaan Majapahit. Desa Sembalo sekarang, adalah daerah Leran kecamatan Manyar, 9 kilometer utara kota Gresik.
Aktivitas pertama yang dilakukannya ketika itu adalah berdagang dengan cara membuka warung. Warung itu menyediakan kebutuhan pokok dengan harga murah. Selain itu secara khusus Malik Ibrahim juga menyediakan diri untuk mengobati masyarakat secara gratis. Sebagai tabib, kabarnya, ia pernah diundang untuk mengobati istri raja yang berasal dari Campa. Besar kemungkinan permaisuri tersebut masih kerabat istrinya.
Kakek Bantal juga mengajarkan cara-cara baru bercocok tanam. Ia merangkul masyarakat bawah -kasta yang disisihkan dalam Hindu. Maka sempurnalah misi pertamanya, yaitu mencari tempat di hati masyarakat sekitar yang ketika itu tengah dilanda krisis ekonomi dan perang saudara. Selesai membangun dan menata pondokan tempat belajar agama di Leran, tahun 1419 M Maulana Malik Ibrahim wafat. Makamnya kini terdapat di kampung Gapura, Gresik, Jawa Timur.
Suatu Kisah
Matahari baru saja tenggelam di Desa Tanggulangin, Gresik, Jawa Timur. Rembulan dan bintang giliran menyapa dengan sinarnya yang elok. Penduduk desa tampak ceria menyambut cuaca malam itu. Sebagian mereka berbincang santai di beranda, duduk lesehan di atas tikar. Mendadak terdengar suara gemuruh. Makin lama makin riuh.
Sejurus kemudian, dari balik pepohonan di perbatasan desa terlihat gerombolan pasukan berkuda –berjumlah sekitar 20 orang. Warga Tanggulangin berebut menyelamatkan diri –bergegas masuk ke rumahnya masing-masing. Kawanan tak diundang itu dipimpin oleh Tekuk Penjalin. Ia berperawakan tinggi, kekar, dengan wajah bercambang bauk.
”Serahkan harta kalian,” sergah Penjalin, jawara yang tak asing di kawasan itu. ”Kalau menolak, akan kubakar desa ini.” Tak satu pun penduduk yang sanggup menghadapi. Mereka memilih menyelamatkan diri, daripada ”ditekuk-tekuk” oleh Penjalin. Merasa tak digubris, kawanan itu siap menghanguskan Tanggulangin.
Obor-obor hendak dilemparkan ke atap rumah-rumah penduduk. Tetapi, mendadak niat itu terhenti. Sekelompok manusia lain, berpakaian putih-putih, tiba-tiba muncul entah dari mana. Rombongan ini dipimpin Syekh Maulana Malik Ibrahim, ulama terkenal yang mulai meluaskan pengaruhnya di wilayah Gresik dan sekitarnya.
Ghafur, seorang murid Syekh, maju ke depan. Dengan sopan ia mengingatkan kelakuan tak terpuji Penjalin. Penjalin tentu tak terima. Apalagi, orang yang mengingatkannya sama sekali tak dikenal di rimba persilatan Gresik. Dalam waktu singkat, terjadilah pertarungan seru. Penduduk Tanggulangin, yang melihat pertempuran itu, rame-rame keluar, lalu membantu Ghafur.
Akhirnya, Penjalin dan pasukannya kocar-kacir. Tapi, Penjalin tak mau menuruti perintah Ghafur agar membubarkan anak buahnya. Ghafur tak punya pilihan lain, ia harus membunuh Penjalin. Baru saja tiba pada keputusan itu, tiba-tiba wajahnya diludahi Penjalin. Ghafur marah sekali. Aneh, di puncak kemarahan itu, ia malah melangkah surut.
Penjalin terperangah. ”Mengapa tak jadi membunuh aku?” ia bertanya. Ghafur menjawab, ”Karena kamu telah membuatku marah, dan aku tak boleh menghukum orang dalam keadaan marah.” Mendengar ”dakwah” ini, disusul oleh perbincangan singkat, Penjalin dan gerombolannya menyatakan tertarik memeluk agama Islam.
Petikan di atas merupakan satu dari dua kisah populer tentang perjalanan dakwah Syekh Maulana Malik Ibrahim, yang juga dikenal sebagai Sunan Gresik. Satu cerita lagi yang kerap ditulis pengarang buku-buku Maulana Malik Ibrahim adalah pertemuannya dengan sekawanan kafir di tengah padang pasir.
Ketika itu, mereka hendak menjadikan seorang gadis sebagai tumbal meminta hujan kepada dewa. Pedang sudah dihunus. Sunan Gresik mendinginkan mereka dengan pembicaraan yang lembut, kemudian memimpin salat Istisqa’ –untuk memohon hujan. Tak lama kemudian langit mencurahkan butir-butir air, Kawanan kafir itu memeluk agama Islam.
Di kalangan Wali Songo, Maulana Malik Ibrahim disebut-sebut sebagai wali paling senior, alias wali pertama. Ada sejumlah versi tentang asal usul Syekh Magribi, sebutan lain Sunan Gresik itu. Ada yang mengatakan ia berasal dari Turki, Arab Saudi, dan Gujarat (India). Sumber lain menyebutkan ia lahir di Campa (Kamboja).
Setelah cukup dewasa, Maulana Malik Ibrahim diminta ayahnya, Barebat Zainul Alam, agar merantau, berdakwah ke negeri selatan. Maka, bersama 40 anggota rombongan yang menyertainya, Malik mengarungi samudra berhari-hari. Mereka kemudian berlabuh di Sedayu, Gresik, pada 1380 M. Mengenai tahun ”pendaratan” ini pun terdapat beberapa versi.
Buku pegangan juru kunci makam Maulana Malik Ibrahim, misalnya, mencantumkan tahun 1392. Beberapa naskah lain bahkan menyebut tahun 1404. Rombongan Malik kemudian menetap di Desa Leran, sekitar sembilan kilometer di barat kota Gresik. Ketika itu, Gresik berada di bawah Kerajaan Majapahit.
Dari sinilah Malik mulai meluncurkan dakwahnya, dengan gaya menjauhi konfrontasi. Sebagian besar masyarakat setempat ketika itu menganut Hindu, ”agama resmi” Kerajaan Majapahit. Sunan melalukan sesuatu yang sangat sederhana: membuka warung. Ia menjual rupa-rupa makanan dengan harga murah.
Dalam waktu singkat, warungnya ramai dikunjungi orang. Malik melangkah ke tahap berikutnya: membuka praktek sebagai tabib. Dengan doa-doa yang diambil dari Al-Quran, ia terbukti mampu menyembuhkan penyakit. Sunan Gresik pun seakan menjelma menjadi ”dewa penolong”. Apalagi, ia tak pernah mau dibayar.
Di tengah komunitas Hindu di kawasan itu, Sunan Gresik cepat dikenal, karena ia sanggup menerobos sekat-sekat kasta. Ia memperlakukan semua orang sama sederajat. Berangsur-angsur, jumlah pengikutnya terus bertambah. Setelah jumlah mereka makin banyak, Sunan Gresik mendirikan masjid.
Ia juga merasa perlu membangun bilik-bilik tempat menimba ilmu bersama. Model belajar seperti inilah yang kemudian dikenal dengan nama pesantren. Dalam mengajarkan ilmunya, Malik punya kebiasaan khas: meletakkan Al-Quran atau kitab hadis di atas bantal. Karena itu ia kemudian dijuluki ”Kakek Bantal”.
Kendati pengikutnya terus bertambah, Malik merasa belum puas sebelum berhasil mengislamkan Raja Majapahit. Ia paham betul, tradisi Jawa sarat dengan kultur ”patron-client”. Rakyat akan selalu merujuk dan berteladan pada perilaku raja. Karena itu, mengislamkan raja merupakan pekerjaan yang sangat strategis.
Tetapi Malik tahu diri. Kalau ia langsung berdakwah ke raja, pasti tak akan digubris, karena posisinya lebih rendah. Karena itu ia meminta bantuan sahabatnya, yang menjadi raja di Cermain. Konon, Kerajaan Cermain itu ada di Persia. Tetapi J. Wolbers, dalam bukunya Geschiedenis van Java, menyebut Cermain tak lain adalah Kerajaan Gedah, alias Kedah, di Malasyia.
Raja Cermain akhirnya datang bersama putrinya, Dewi Sari. Mereka disertai puluhan pengawal. Dewi yang berwajah elok itu akan dipersembahkan kepada Raja Majapahit. Dari sini, bercabang-cabanglah cerita mengenai ”Raja Majapahit” itu.. Ada yang menyebut raja itu Prabu Brawijaya V. Tetapi menurut Wolbers, raja tersebut adalah Angkawijaya.
Repotnya, menurut Umar Hasyim dalam bukunya, Riwayat Maulana Malik Ibrahim, nama Angkawijaya tidak dikenal, baik dalam Babad Tanah Jawi maupun Pararaton. Nama Angkawijaya tercantum dalam Serat Kanda. Di situ disebutkan, dia adalah pengganti Mertawijaya, alias Damarwulan –suami Kencana Wungu.
Angkawijaya mempunyai selir bernama Ni Raseksi. Tetapi, kalau dicocokkan dengan Babad Tanah Jawi, raja Majapahit yang mempunyai selir Ni Raseksi adalah Prabu Brawijaya VII. Cuma, menurut catatan sejarah, Prabu Brawijaya VII memerintah pada 1498-1518. Periode ini jadi ”bentrokan” dengan masa hidup Maulana Malik Ibrahim.
Melihat tahunnya, kemungkinan besar raja yang dimaksud adalah Hyang Wisesa, alias Wikramawardhana, yang memerintah pada 1389-1427. Terlepas dari siapa sang raja sebenarnya, yang jelas penguasa Majapahit itu akhirnya bersedia menemui rombongan Raja Cermain. Sayang, usaha mereka gagal total.
Sang raja cuma mau menerima Dewi Sari, tetapi menolak masuk Islam. ”Bargaining” seperti ini tentu diotolak rombongan Cermain. Sebelum pulang ke negerinya, rombongan Cermain singgah di Leran. Sambil menunggu perbaikan kapal, mereka menetap di rumah Sunan Gresik.
Malang tak bisa ditolak, tiba-tiba merajalelalah wabah penyakit. Banyak anggota rombongan Cermain yang tertular, bahkan meninggal. Termasuk Dewi Sari. Raja Cermain dan sebagian kecil pengawalnya akhirnya bisa pulang ke negeri mereka. Sunan Gresik sendiri tak patah hati dengan kegagalan ”misi” itu. Ia terus melanjutkan dakwahnya hingga wafat, pada 1419.

Kanjeng Sunan Giri

Kanjeng Sunan Giri memiliki nama kecil Raden Paku, alias Muhammad Ainul Yakin. Sunan Giri lahir di Blambangan (kini Banyuwangi) pada 1442 M. Ada juga yang menyebutnya Jaka Samudra. Sebuah nama yang dikaitkan dengan masa kecilnya yang pernah dibuang oleh keluarga ibunya–seorang putri raja Blambangan bernama Dewi Sekardadu ke laut. Raden Paku kemudian dipungut anak oleh Nyai Semboja (Babad Tanah Jawi versi Meinsma).
Ayahnya adalah Maulana Ishak. saudara sekandung Maulana Malik Ibrahim. Maulana Ishak berhasil meng-Islamkan isterinya, tapi gagal mengislamkan sang mertua. Oleh karena itulah ia meninggalkan keluarga isterinya berkelana hingga ke Samudra Pasai.
Sunan Giri kecil menuntut ilmu di pesantren misannya, Sunan Ampel, tempat dimana Raden Patah juga belajar. Ia sempat berkelana ke Malaka dan Pasai. Setelah merasa cukup ilmu, ia membuka pesantren di daerah perbukitan Desa Sidomukti, Selatan Gresik. Dalam bahasa Jawa, bukit adalah “giri”. Maka ia dijuluki Sunan Giri.
Pesantrennya tak hanya dipergunakan sebagai tempat pendidikan dalam arti sempit, namun juga sebagai pusat pengembangan masyarakat. Raja Majapahit -konon karena khawatir Sunan Giri mencetuskan pemberontakan- memberi keleluasaan padanya untuk mengatur pemerintahan. Maka pesantren itupun berkembang menjadi salah satu pusat kekuasaan yang disebut Giri Kedaton. Sebagai pemimpin pemerintahan, Sunan Giri juga disebut sebagai Prabu Satmata.
Giri Kedaton tumbuh menjadi pusat politik yang penting di Jawa, waktu itu. Ketika Raden Patah melepaskan diri dari Majapahit, Sunan Giri malah bertindak sebagai penasihat dan panglima militer Kesultanan Demak. Hal tersebut tercatat dalam Babad Demak. Selanjutnya, Demak tak lepas dari pengaruh Sunan Giri. Ia diakui juga sebagai mufti, pemimpin tertinggi keagamaan, se-Tanah Jawa.
Giri Kedaton bertahan hingga 200 tahun. Salah seorang penerusnya, Pangeran Singosari, dikenal sebagai tokoh paling gigih menentang kolusi VOC dan Amangkurat II pada Abad 18.
Para santri pesantren Giri juga dikenal sebagai penyebar Islam yang gigih ke berbagai pulau, seperti Bawean, Kangean, Madura, Haruku, Ternate, hingga Nusa Tenggara. Penyebar Islam ke Sulawesi Selatan, Datuk Ribandang dan dua sahabatnya, adalah murid Sunan Giri yang berasal dari Minangkabau.
Dalam keagamaan, ia dikenal karena pengetahuannya yang luas dalam ilmu fikih. Orang-orang pun menyebutnya sebagai Sultan Abdul Fakih. Ia juga pecipta karya seni yang luar biasa. Permainan anak seperti Jelungan, Jamuran, lir-ilir dan cublak suweng disebut sebagai kreasi Sunan Giri. Demikian pula Gending Asmaradana dan Pucung -lagi bernuansa Jawa namun syarat dengan ajaran Islam.
Alkisah
Selama 40 hari, Raden Paku bertafakur di sebuah gua. Ia bersimpuh, meminta petunjuk Allah SWT, ingin mendirikan pesantren. Di tengah hening malam, pesan ayahnya, Syekh Maulana Ishak, kembali terngiang: ”Kelak, bila tiba masanya, dirikanlah pesantren di Gresik.” Pesan yang tak terlalu sulit, sebetulnya.
Tapi, ia diminta mencari tanah yang sama persis dengan tanah dalam sebuah bungkusan ini. Selesai bertafakur, Raden Paku berangkat mengembara. Di sebuah perbukitan di Desa Sidomukti, Kebomas, ia kemudian mendirikan Pesantren Giri. Sejak itu pula Raden Paku dikenal sebagai Sunan Giri. Dalam bahasa Sansekerta, ”giri” berarti gunung.
Namun, tak ada peninggalan yang menunjukkan kebesaran Pesantren Giri –yang berkembang menjadi Kerajaan Giri Kedaton. Tak ada juga bekas-bekas istana. Kini, di daerah perbukitan itu hanya terlihat situs Kedaton, sekitar satu kilometer dari makam Sunan Giri. Di situs itu berdiri sebuah langgar berukuran 6 x 5 meter.
Di sanalah, konon, sempat berdiri sebuah masjid, tempat Sunan Giri mengajarkan agama Islam. Ada juga bekas tempat wudu berupa kolam berukuran 1 x 1 meter. Tempat ini tampak lengang pengunjung.
Syahdan, Pesantren Giri terkenal ke seluruh penjuru Jawa, bahkan sampai ke Madura, Lombok, Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku. Menurut Babad Tanah Jawi, murid Sunan Giri juga bertebaran sampai ke Cina, Mesir, Arab, dan Eropa. Pesantren Giri merupakan pusat ajaran tauhid dan fikih, karena Sunan Giri meletakkan ajaran Islam di atas Al-Quran dan sunah Rasul.
Ia tidak mau berkompromi dengan adat istiadat, yang dianggapnya merusak kemurnian Islam. Karena itu, Sunan Giri dianggap sebagai pemimpin kaum ”putihan”, aliran yang didukung Sunan Ampel dan Sunan Drajat. Tapi, Sunan Kalijaga menganggap cara berdakwah Sunan Giri kaku. Menurut Sunan Kalijaga, dakwah hendaklah pula menggunakan pendekatan kebudayaan.
Misalnya dengan wayang. Paham ini mendapat sokongan dari Sunan Bonang, Sunan Muria, Sunan Kudus, dan Sunan Gunung Jati. Perdebatan para wali ini sempat memuncak pada peresmian Masjid Demak. ”Aliran Tuban” –Sunan Kalijaga cs– ingin meramaikan peresmian itu dengan wayang. Tapi, menurut Sunan Giri, menonton wayang tetap haram, karena gambar wayang itu berbentuk manusia.
Akhirnya, Sunan Kalijaga mencari jalan tengah. Ia mengusulkan bentuk wayang diubah: menjadi tipis dan tidak menyerupai manusia. Sejak itulah wayang beber berubah menjadi wayang kulit. Ketika Sunan Ampel, ”ketua” para wali, wafat pada 1478, Sunan Giri diangkat menjadi penggantinya. Atas usulan Sunan Kalijaga, ia diberi gelar Prabu Satmata.
Diriwayatkan, pemberian gelar itu jatuh pada 9 Maret 1487, yang kemudian ditetapkan sebagai hari jadi Kabupaten Gresik. Di kalangan Wali nan Sembilan, Sunan Giri juga dikenal sebagai ahli politik dan ketatanegaraan. Ia pernah menyusun peraturan ketataprajaan dan pedoman tata cara di keraton. Pandangan politiknya pun dijadikan rujukan.
Menurut Dr. H.J. De Graaf, lahirnya berbagai kerajaan Islam, seperti Demak, Pajang, dan Mataram, tidak lepas dari peranan Sunan Giri. Pengaruhnya, kata sejarawan Jawa itu, melintas sampai ke luar Pulau Jawa, seperti Makassar, Hitu, dan Ternate. Konon, seorang raja barulah sah kerajaannya kalau sudah direstui Sunan Giri.
Pengaruh Sunan Giri ini tercatat dalam naskah sejarah Through Account of Ambon, serta berita orang Portugis dan Belanda di Kepulauan Maluku. Dalam naskah tersebut, kedudukan Sunan Giri disamakan dengan Paus bagi umat Katolik Roma, atau khalifah bagi umat Islam. Dalam Babad Demak pun, peran Sunan Giri tercatat.
Ketika Kerajaan Majapahit runtuh karena diserang Raja Girindrawardhana dari Kaling Kediri, pada 1478, Sunan Giri dinobatkan menjadi raja peralihan. Selama 40 hari, Sunan Giri memangku jabatan tersebut. Setelah itu, ia menyerahkannya kepada Raden Patah, putra Raja Majapahit, Brawijaya Kertabhumi.
Sejak itulah, Kerajaan Demak Bintoro berdiri dan dianggap sebagai kerajaan Islam pertama di Jawa. Padahal, sebenarnya, Sunan Giri sudah menjadi raja di Giri Kedaton sejak 1470. Tapi, pemerintahan Giri lebih dikenal sebagai pemerintahan ulama dan pusat penyebaran Islam. Sebagai kerajaan, juga tidak jelas batas wilayahnya.
Tampaknya, Sunan Giri lebih memilih jejak langkah ayahnya, Syekh Maulana Ishak, seorang ulama dari Gujarat yang menetap di Pasai, kini Aceh. Ibunya Dewi Sekardadu, putri Raja Hindu Blambangan bernama Prabu Menak Sembuyu. Kisah Sunan Giri bermula ketika Maulana Ishak tertarik mengunjungi Jawa Timur, karena ingin menyebarkan agama Islam.
Setelah bertemu dengan Sunan Ampel, yang masih sepupunya, ia disarankan berdakwah di daerah Blambangan. Ketika itu, masyarakat Blambangan sedang tertimpa wabah penyakit. Bahkan putri Raja Blambangan, Dewi Sekardadu, ikut terjangkit. Semua tabib tersohor tidak berhasil mengobatinya.
Akhirnya raja mengumumkan sayembara: siapa yang berhasil mengobati sang Dewi, bila laki-laki akan dijodohkan dengannya, bila perempuan dijadikan saudara angkat sang dewi. Tapi, tak ada seorang pun yang sanggup memenangkan sayembara itu. Di tengah keputusasaan, sang prabu mengutus Patih Bajul Sengara mencari pertapa sakti.
Dalam pencarian itu, patih sempat bertemu dengan seorang pertapa sakti, Resi Kandayana namanya. Resi inilah yang memberi ”referensi” tentang Syekh Maulana Ishak. Rupanya, Maulana Ishak mau mengobati Dewi Sekardadu, kalau Prabu Menak Sembuyu dan keluarganya bersedia masuk Islam. Setelah Dewi Sekardadu sembuh, syarat Maulana Ishak pun dipenuhi.
Seluruh keluarga raja memeluk agama Islam. Setelah itu, Dewa Sekardadu dinikahkan dengan Maulana Ishak. Sayangnya, Prabu Menak Sembuyu tidak sepenuh hati menjadi seorang muslim. Ia malah iri menyaksikan Maulana Ishak berhasil mengislamkan sebagian besar rakyatnya. Ia berusaha menghalangi syiar Islam, bahkan mengutus orang kepercayaannya untuk membunuh Maulana Ishak.
Merasa jiwanya terancam, Maulana Ishak akhirnya meninggalkan Blambangan, dan kembali ke Pasai. Sebelum berangkat, ia hanya berpesan kepada Dewi Sekardadu –yang sedang mengandung tujuh bulan– agar anaknya diberi nama Raden Paku. Setelah bayi laki-laki itu lahir, Prabu Menak Sembuyu melampiaskan kebenciannya kepada anak Maulana Ishak dengan membuangnya ke laut dalam sebuah peti.
Alkisah, peti tersebut ditemukan oleh awak kapal dagang dari Gresik, yang sedang menuju Pulau Bali. Bayi itu lalu diserahkan kepada Nyai Ageng Pinatih, pemilik kapal tersebut. Sejak itu, bayi laki-laki yang kemudian dinamai Joko Samudro itu diasuh dan dibesarkannya. Menginjak usia tujuh tahun, Joko Samudro dititipkan di padepokan Sunan Ampel, untuk belajar agama Islam.
Karena kecerdasannya, anak itu diberi gelar ”Maulana `Ainul Yaqin”. Setelah bertahun-tahun belajar, Joko Samudro dan putranya, Raden Maulana Makhdum Ibrahim, diutus Sunan Ampel untuk menimba ilmu di Mekkah. Tapi, mereka harus singgah dulu di Pasai, untuk menemui Syekh Maulana Ishak.
Rupanya, Sunan Ampel ingin mempertemukan Raden Paku dengan ayah kandungnya. Setelah belajar selama tujuh tahun di Pasai, mereka kembali ke Jawa. Pada saat itulah Maulana Ishak membekali Raden Paku dengan segenggam tanah, lalu memintanya mendirikan pesantren di sebuah tempat yang warna dan bau tanahnya sama dengan yang diberikannya.
Kini, jejak bangunan Pesantren Giri hampir tiada. Tapi, jejak dakwah Sunan Giri masih membekas. Keteguhannya memurnikan agama Islam juga diikuti para penerusnya. Sunan Giri wafat pada 1506 Masehi, dalam usia 63 tahun. Ia dimakamkan di Desa Giri, Kecamatan Kebomas, Kabupaten Gresik, Jawa Timur.
Sumber : sunatullah.com

Menghujamkan Kalimah Syahadah

Asyhadu allâ ilâha illallâh, wa asyhadu anna Muhammadar Rasûlullâh. Itulah dua kalimat syahadat. Yang pertama merupakan syahadat tauhid (Asyhadu allâ ilâha illallâh), dan yang kedua merupakan syahadat nabi (wa asyhadu anna Muhammadar Rasûlullâh). Syahadat tauhid merupakan tauhîdullâh, mentauhidkan Allah SWT. Artinya, bersaksi bahwa tidak ada ilâh selain Allah Rabbul ‘âlamîn. Sementara itu, ilâh berarti al ma’bûd (sesembahan; Dzat yang diibadahi). Karenanya, syahadat tauhid bermakna kesaksian bahwa tidak ada sesuatu apapun yang berhak, wajib dan layak diibadahi (disembah) selain Allah SWT. Padahal, ibadah itu maknanya thâ’atullâh wa khudhû’un lahu wa iltizâmu mâ syara’ahu minad dîn (taat kepada Allah, tunduk kepada-Nya serta berpegang teguh kepada dîn [agama, aturan hidup] yang telah disyariatkan oleh-Nya). Jadi, seseorang yang betul-betul memegang tauhîdullâh hanya akan taat, tunduk dan terikat kepada aturan Allah SWT. saja. Ia tidak akan rela menyerahkan kepasrahan dan ibadahnya kepada hawa nafsunya sendiri atau kepada hawa nafsu dan akal sesama manusia. Sebab, tidak ada yang Maha Gagah, Maha Kuasa, Maha Kasih, dan Maha segala-galanya selain Allah Pencipta manusia.
Keyakinan dan sikap akan tauhid ini bukanlah keyakinan dan sikap yang kering kerontang. Sebaliknya, dampak tauhîdullâh pada diri seorang muslim harus nyata dalam jiwa. Orang yang memegang tauhîdullâh secara lurus akan merasakan kelezatannya yang tiada tara. Paling tidak, ada tiga hal yang melekat pada dirinya. Pertama, seorang muslim yang bertauhid akan dan harus merasa senantiasa bersama dan diawasi Allah SWT (ma’iyyatullâh dan murâqabatullâh), Kedua, mencintai (mahabbah) dan ridha kepada Allah SWT melebihi dari apapun. Ketiga, yakin kepada janji Allah SWT (tsiqah bi wa’dillâh).
Muaranya, ma’iyatullâh, mahabbah dan tsiqah bi wa’dillâh akan mendorong seorang muslim untuk senantiasa menjaga aqidahnya, taat kepada aturan Allah SWT dan menjauhi maksiyat serta bergiat dalam dakwah sehingga ia akan menjadi seorang muslim kaffah yang senantiasa mengharap keridhaan Allah SWT (mardhatillah) dan surga (jannah). Bersamaan dengan itu dadanya sarat dengan kerinduan untuk bertemu dengan Allah Dzat Maha Pengasih dalam keadaan ridla dan diridlai oleh-Nya. Realisasi muslim yang lurus bertauhid digambarkan Allah SWT dalam firman-Nya:
“Wahai orang-orang yang beriman, masuklah kamu kedalam Islam secara kaffah dan janganlah kamu turuti langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagimu.” (QS. al-Baqarah [2]: 208)
“Sesungguhnya perkataan orang-orang beriman, ketika dipanggil kepada Allah SWT dan Rasul-Nya, agar Rasul menerapkan hukum (Islam) diantara mereka, mereka mengatakan: ’Kami mendengar dan kami patuh’ dan merekalah orang-orang yang beruntung.” (QS. an-Nuur [24]: 51)
“Maka demi Rab-mu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka (haraj) terhadap putusan yang kamu berikan dan mereka beriman dengan taslim.“ (QS. al-Nisaa’ [4]: 65)
1. Memahami Kebersamaan Allah SWT (Ma’iyatullah)
Ma’iyyah berasal dari kata ma’a, artinya bersama. Ma’iyatullah berarti kebersamaan Allah SWT. Dengan menelaah ayat-ayat al-Quran diketahui bahwa ma’iyyatullah itu ada dua kategori: al-ma’iyyah al-‘âmah dan al-ma’iyyah al-khâshah.
a. Al-Ma’iyyatullah al-âmah
Al-ma’iyyatullah al-âmah (kebersamaan umum) artinya bahwa Allah SWT senantiasa bersama dengan seluruh manusia. Baik tua atau muda, laki-laki maupun perempuan, miskin atukah kaya, bodoh maupun pintar, tinggal di desa juga di kota, taat ataukah membangkang, muslim ataupun kafir. Tidak ada bedanya ! Dengan sifat-Nya yang Maha Mengetahui (al-‘Alîm), Maha Melihat (al-Bashîr), Maha Mendengar (al-Samî’), Allah SWT akan senantiasa mengetahui dan melihat apa yang dilakukan manusia dan apa yang dikatakannya.
“Dia yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa. Kemudian istiwa’ di arsy. Dia mengetahui apa yang ada di bumi dan yang keluar dari bumi, apa yang turun dari langit dan apa-apa yang naik padanya. Dia bersamamu dimanapun kamu berada. Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” (QS. al-Hadid [57]: 4)
“Tidakkah engkau ketahui bahwa Allah mengetahui apa-apa yang ada dilangit dan apa-apa yang ada di bumi? Tiadalah berbisik tiga orang, melainkan dia yang keempatnya dan tidak pula lima orang, melainkan Dia yang keenamnya dan tiada kurang serta tiada lebih melainkan Dia bersama mereka dimana saja mereka berada. Kemudian Dia kabarkan kepada mereka apa-apa yang mereka kerjakan pada hari kiamat. Sungguh Allah Maha Mengetahui tiap-tiap sesuatu.” (QS. al-Mujadilah [58]: 7)
“Tiadalah satu perkataanpun yang diucapkan seseorang melainkan disisinya ada Raqîb dan ‘Atîd.” (QS. Qaaf [50]: 18)
Karenanya, seorang muslim bertauhid lurus betul-betul sadar bahwa Allah SWT mengetahui setiap gerak-gerik dia, ucapan dia, bahkan apapun yang terlintas didalam hatinya. Tidak ada yang tersembunyi apapun bagi Allah Dzat Maha Mengetahui. Dia bukan hanya mengetahui saat orang di masjid saja. Juga, bukan hanya mengetahui apa yang dilakukan manusia di bulan Ramadlan saja. Dia mengetahui apapun yang terjadi baik di langit maupun di bumi, siang maupun malam, jauh maupun dekat, ditampakkan ataukah disembunyi-sembunyikan, disengaja ataupun tidak. Karena itu, ia yakin bahwa setiap lintasan hati dan perilakunya senantiasa diketahui oleh Allah SWT. Implikasinya, ia berupaya untuk tidak menyalahi segenap aturan-aturan Al Khaliq. Muslim bertauhid lurus akan terikat dengan segenap hukum syara’ (aturan Allah SWT) dalam setiap aspek kehidupannya. Dia tidak percaya kepada aturan selain Allah SWT, aturan thaghut, termasuk pendapat ‘cendekiawan muslim’ dengan mengatasnamakan rasionalitas dan ilmiah dengan menyatakan semua agama langit (Islam, Kristen, Yahudi) sama saja, kebenaran itu relatif, jangan merasa hanya Islam yang benar, Islam ditafsirkan dari sudut pandang liberalisme hingga muncul istilah ‘Islam liberal’ dan ungkapan lainnya. Ia sadar bahwa segenap keyakinan dan perbuatannya akan dipertanggungjawabkan oleh dirinya sendiri. Ia tidak akan gambling dengan berbagai logika yang jauh dari bimbingan wahyu Allah SWT.
Untuk itu, seorang muslim yang sadar akan pengawasan Allah SWT senantiasa terikat dengan hukum syara dimanapun ia berada. Sekalipun ia tidak dapat melihat Allah SWT, namun ia yakin Allah Maha Melihat senantiasa menyaksikan apapun yang dilakukannya. Karena itu, ia berupaya melakukan taat kepada-Nya di setiap tempat.
Di masjid, misalnya. Ia akan senantiasa shalat berjamaah dengan khusyu’, berdzikir dan membaca al-Quran. Di masjid pula tidak dibicarakan selain menyangkut kepentingan umat. Begitu juga di rumah, seorang mukmin berupaya untuk menunaikan kewajiban terhadap anak-anak dan isteri-isterinya. Mereka didik dengan ajaran Islam. Ketika santai pun ia tidak menampakkan aurat sekalipun kepada anak-anaknya. Apalagi, ia tidak pernah mandi ‘bugil’ bersama mereka sekalipun orang-orang menganjurkannya atas nama pendidikan seks. Di jalan menuju tempat kerja juga sama. Pandangan senantiasa ditundukkannya. Ketika ada aurat orang lain di depannya, ia berupaya memalingkan pandangannya. Ia melakukan ghadhul bashar. Bila di kendaraan umum terjadi kemungkaran, ia berupaya untuk mencegahnya. Di kantor, ia bekerja dalam bidang yang diperbolehkan oleh Islam. Hubungan dengan sesama pun memperhatikan nizham ijtima’iy yang mengatur pergaulan antara laki-laki dengan perempuan. Ia tidak berkhalwat (berduaan dengan bukan mahram, mojok). Apalagi melakukan hal-hal yang mendekatkannya pada perzinahan seperti cumbu rayu, saling menatap penuh hasrat, berbicara hal-hal porno, pelecehan seksual, menjalin affair dengan perempuan atau laki-laki lain dan sebagainya. Ketika hendak mencari makan pun selalu terikat dengan hukum Allah SWT. Ia tidak akan mau makan di restauran, rumah makan, atau warung nasi yang di situ dijual juga bir, babi atau barang haram lainnya. Begitu juga, ia akan memilih tempat makan milik muslim, atau ahlul kitab yang terjamin kehalalannya. Di ruang pengadilan, ia tidak akan pernah menjadi saksi palsu, tidak akan membela orang yang jelas-jelas keliru. Dan, bila sebagai hakim, ia senantiasa akan memutuskan hukum sesuai dengan syariat Islam. Ketika ia sebagai seorang pejabat pun akan selalu membela rakyat dan umat Islam, mengurusi urusan mereka, menjauhkan dan menentang musuh-musuh Islam dan umatnya, melawan imperialisme Amerika dan negara-negara kafir sekutunya, serta menerapkan hukum Islam dalam setiap aspek kehidupan masyarakat. Demikianlah, keyakinan bahwa Allah Dzat Maha Bijaksana senantiasa mengawasi dimana pun ia berada betul-betul mempengaruhi perilakunya.
Wujud lain dari al-ma’iyyatullah al-‘âmah adalah Allah SWT memberikan kemuliaan dan rahmat-Nya berupa nyawa, rizki dan segenap nikmat kepada manusia, baik ia beriman kepada Allah SWT ataupun ia ingkar kepada-Nya. Baik ia selalu taat atau bergelimang maksiyat. Allah SWT berfirman :
“Tidakkah kamu perhatikan, bahwa Allah menundukkan (taskhir) untukmu apa-apa yang ada di langit dan apa-apa yang ada di bumi dan menyempurnakan untukmu nikmat-Nya lahir dan batin, Diantara manusia ada yang membantah tentang (keesaan) Allah tanpa ilmu, tanpa pertunjuk dan tanpa kitab yang terang.” (QS. Luqman [31]: 20)
“Sesungguhnya telah Kami muliakan Bani Adam dan Kami angkat mereka dengan kendaraan di darat dan di laut serta Kami beri rizki mereka dengan yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dari kebanyakan makhluk yang Kami jadikan dengan kelebihan (yang sempurna).” (QS. al-Isra’ [17]: 70)
Realitas menunjukkan bahwa orang ganteng itu tidak selalu mukmin, ada juga orang kafir yang wajahnya tampan. Orang kaya juga sama, muslim tidak dijamin kaya, tak sedikit orang kafir atau muslim banyak maksiyat hartanya melimpah ruah. Koruptor banyak yang kaya, penipu banyak hartanya, namun juga muslim shalih tidak sedikit yang dikurniai kekayaan melimpah. Jabatan pun tidak khusus diperuntukkan bagi orang mukmin, tengok saja saat sekarang ini orang-orang kafir imperialis dibawah pimpinan AS tengah berkuasa di seantero jagat. Demikian pula, kalangan penguasa muslim munafiq yang menjadi kaki tangan mereka. Sementara itu, belum ada orang muslim yang shalih dan sungguh-sungguh beriman sekarang diberi kesempatan berkuasa oleh Allah SWT untuk menerapkan seluruh aturan-aturan Islam. Tak sekedar itu, semua barang berupa oksigen, tumbuhan, air hujan, hewan, angin sepoi-sepoi, desiran pantai, indahnya pemandangan laut dan hal-hal lain diperuntukkan untuk semua manusia baik mukmin maupun kafir. Semuanya bukanlah manusia yang membuatnya, tapi Allah-lah Penciptanya. Umur, rasa senang, rasa tenang, nikmatnya hidup suami-isteri, sedih, marah, iba dan lainnya juga diberikan Allah SWT kepada setiap manusia. Siapapun mereka ! Demikian halnya dengan akal. Melalui akal manusia dapat membedakan mana yang baik mana yang buruk, dapat juga mengolah alam untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, serta dapat mengkaji wahyu Allah SWT sebagai tuntunan hidup di dunia demi kebahagiaan hakiki. Semua kenikmatan ini dirasakan oleh setiap manusia.
Inilah bentuk al-ma’iyyatullah al-amah. Semuanya merupakan pemberian Allah SWT, Dzat Maha Pengasih Penyayang. Setiap orang –tanpa memandang suku, agama, keimanan, tempat kelahiran atau apapun– mendapatkannya. Karenanya, perkara-perkara tadi tidak menentukan baik buruknya seseorang di hadapan Allah SWT. Alangkah ruginya seorang mukmin yang tidak sadar akan pengawasan Allah Rabbul ‘Izzati, atau hanya memperoleh kebersamaan Allah SWT yang bersifat umum saja. Sebab, hewan pun mendapatkan hal tersebut.
Mensikapi kenyataan demikian, seorang mukmin bertauhid lurus menyadari betul bahwa (1) Allah SWT. Maha Penyayang. Segala sesuatu apapun bentuk kenikmatan berasal dari Allah Pencipta Semesta. Tidak ada secuil pun kenikmatan dan fasilitas hidup berasal dari manusia atau makhluk lainnya. Tidak semuanya berasal dari Allah SWT. Dan, (2) Ia yakin betul bahwa kemuliaannya di sisi Allah SWT Pemilik Kemuliaan tidak ditentukan oleh perkara yang bersifat fisik; sebaliknya ketaatan, ketundukan dan kepatuhan kepada-Nya-lah yang menjadikan seseorang mulia di sisi Allah SWT:
“Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kalian menurut Allah adalah orang yang paling taqwa,” (QS. al-Hujurât [49]: 13)
Dalam pernyataan lain:
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan melakukan amal shalih mereka itulah sebaik-baiknya makhluk (khairul bariyyah).” (QS. al-Bayyinah [98]: 7)
Inilah keyakinannya ! Untuk apa terlihat senang di dunia kalau harus merasakan kenestapaan tak terhingga kelak di akhirat. Untuk itu, ia akan terus berbuat ihsan kepada mereka. Dan selalu taat kepada segenap aturan Allah dan takut berbuat maksiyat, oleh karena Allah SWT senantiasa bersama mereka.
“Berbuatlah ihsan kamu sebagaimana Allah telah berbuat ihsan kepada engkau…” (QS. al-Qashash [28]: 77)
b. Al-ma’iyyatullah al-Khashah
Tidak semua manusia ternyata dapat merespon muraqabatullah dan ihsanullah sebagaimana mestinya. Sangat banyak manusia yang mudah sekali melakukan kemaksiyatan, padahal setiap saat Allah SWT senantiasa mengawasi manusia. Juga, sangat mudah melakukan ke-dzaliman kepada sesama manusia. Padahal Allah SWT senantiasa berbuat baik kepadanya. Cobalah kita tengokkan pikiran kita ke sekeliling kita. Aurat diobral murah seperti pakaian loakan. Bukan hanya betis atau paha, udel bahkan secara sengaja dan penuh kesadaran dipamerkan. Perjudian dibiarkan. Kejadian kemarin, di Ngawi, kaum muslim yang menentang perjudian malah ditangkapi. Perjudian dibela ! Saat Hari Natal tiba, 25 Desember 2001, ada orang muslim yang turut merayakannya. Bahkan, turut menjaganya. Seakan-akan mereka rasakan hal itu merupakan kebajikan atas nama toleransi. Padahal, Allah SWT dan Rasulullah SAW mengharamkan turut merayakan hari raya agama lain. Dan, di negeri muslim tidak dibenarkan propaganda hari raya Natal di TV, radio, toko-toko, jalan raya, kantor, dan tempat umum lainnya. Pejabat muslim justru memelopori kemaksiatan tersebut. Saat ada perempuan muslimah menikah dengan laki-laki non muslim tidak ditentang, alasannya ‘Itu hak asasi dia’. Bahkan, beberapa waktu lalu seorang yang disebut ‘cendekiawan muslim’ menikahkan anak perempuannya dengan laki-laki Yahudi di Amerika dan menggunakan aturan yang disebutnya ‘syariat Ibrahim’. Padahal, dalam al-Quran hal itu diharamkan, merupakan kemaksiyatan (lihat: surat al-Mumtahanah [60]: 10, al-Baqarah [2]: 221). Ketika Amerika hendak memecah belah kaum muslim, tidak jarang orang muslim turut mengkampanyekan propaganda mereka dengan mengkotak-kotak umat Islam sebagai tradisionalis, modernis dan fundamentalis. Umat Islam dikerat-kerat. Dengan alasan kemajemukan, ada orang muslim yang turut mempropagandakan ‘agama madani’ sebagai gabungan kesamaan antara Islam, Kristen dan Yahudi. “Orang Islam jangan merasa benar sendiri, kebenaran itu relatif, semua agama sama-sama beriman,” kata mereka. Padahal, ini merupakan suatu kemaksiatan.
“Barangsiapa menjadikan selain Islam sebagai dîn (agama, sistem hidup) maka tidak diterima apapun darinya dan ia di akhirat termasuk orang yang rugi.” (QS. Ali Imrân [3]: 85)
Demikian juga, ketika Oktober 2001 yang lalu Amerika menghujani muslim Afghanistan dengan bom curah (cluster bomb), penguasa muslim malah membiarkannya, bahkan mendukung AS. Sebagian umat Islam pun tertipu oleh propaganda AS dan penguasa muslim hingga membiarkan ribuan anak-anak, perempuan dan orang tua renta meninggal, serta 7,5 juta muslim Afghanistan berada dalam kesengsaraan dan ketakutan. Banyak lagi hal-hal senada lainnya yang merupakan kemaksiatan. Bila sikap ini yang terjadi, maka seorang muslim hanya akan mendapatkan al-ma’iyyah al-amah, persis seperti yang diperoleh manusia yang tidak beriman dan hewan. Tidak lebih !
Sebaliknya, mereka yang merespons kasih sayang Allah SWT tadi dengan ketaatan, ketundukan dan keterikatan terhadap aturan Allah SWT saja, selain mendapatkan al-ma’iyyah al-amah, juga akan mendapatkan al-ma’iyyah al-khashah yang bentuknya berupa ta’yidullah (dukungan Allah SWT) dan nashrullah (pertolongan Allah SWT).
Dulu Rasulullah SAW bersama Abu Bakar mengalaminya saat keduanya berada di gua Tsur untuk menghindari kejaran kaum Quraisy dalam hijrahnya ke Madinah. Orang Quraisy tidak menyangka sama sekali bahwa Rasul dan Abu Bakar berada di dalam gua karena di mulut gua ada burung merpati yang bertelur serta sarang laba-laba yang masih utuh. Logika mereka, bila ada orang masuk, tentu semua itu akan rusak. Tidak mungkin ada sarang laba-laba utuh, tidak mungkin burung tetap di sarangnya, tidak terbang. Padahal, kalaupun ada di goa, baru saja keduanya masuk. Mereka tidak menyadari bahwa Allah-lah yang menciptakan itu semua demi menolong dua hamba terkasihnya. Hal ini diabadikan oleh Allah SWT:
“Jika kamu tiada menolong Nabi, sesungguhnya Allah telah menolongnya, ketika orang-orang kafir mengusirnya, sebagai orang kedua dari dua orang, ketika keduanya berada dalam gua (Tsur), ketika ia berkata kepada sahabatnya: ‘Janganlah engkau berduka cita, sesungguhnya Allah bersama kita.’ Lalu Allah menurunkan ketenangan diatas dirinya dan menguatkannya dengan bala tentara yang tiada kamu lihat (malaikat) dan Allah menjadikan perkataan orang-orang kafir rendah dan kalimat Allah tinggi. Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. at-Taubah [9]: 40)
Atau seperti yang dialami oleh Nabi Musa dan saudaranya Harun saat menghadapi kekejaman penguasa diktator Fir’aun.
“Berkatalah mereka berdua: ‘Yaa Rab kami, sesungguhnya kami khawatir bahwa ia akan segera menyiksa kami atau akan bertambah melampaui batas.” (QS. Thaha [20]: 45)
Lalu Allah Dzat Maha Gagah menghibur mereka seraya mengatakan,
“Jangan kamu berdua khawatir, sesungguhnya Aku bersama kamu berdua. Aku mendengar dan Aku melihat.” (QS. Thaha [20]: 46)
“Dan sesungguhnya telah Kami wahyukan kepada Musa: ‘Pergilah kamu dengan hamba-hamba-Ku di malam hari, maka buatlah untuk mereka jalan kering di laut itu, kamu tak usah khawatir akan tersusul dan tidak usah takut (akan tenggelam)’. Maka Fir’aun dengan bala tentaranya mengejar mereka, lalu mereka ditutup oleh laut yang menenggelamkan mereka.” (QS. Thaha [20]: 77-78)
Ditinjau dengan logika, sulit dibayangkan Nabi Musa beserta sahabat-sahabatnya dapat selamat. Di depan terbentang lautan tanpa biduk, di belakang pasukan Fir’aun mengepung. Terbang? Tidak bisa. Hendak sembunyi tak ada tempat berlindung. Sungguh, tak dapat dimungkinkan selamat. Secara rasional mustahil selamat. Namun, realitas mengatakan sebaliknya. Mereka selamat, mereka menang. Allah Maha Penolong memberikan dukungan dan pertolongan kepada hamba-Nya yang beriman sebenar-benarnya.
Seorang muslim yakin bahwa dukungan dan pertolongan Allah SWT pasti diberikan kepada manusia yang senantiasa beriman dan konsekwen dengan keimanannya itu. Bukan kepada mereka yang sekedar ‘mengaku dan merasa’ beriman. Karenanya, ia senantiasa akan berusaha mewujudkan keimanannya dalam keta’atan pada semua aturan Allah SWT baik menyangkut kehidupan individu, keluarga maupun dalam bermasyarakat dan bernegara. Ketika dilihatnya bahwa di tengah keluarga, masyarakat dan negara belum tegak aturan Allah SWT, ia akan berjuang hingga aturan itu tegak secara sempurna. Ia tidak takut untuk senantiasa taat dan tidak takut pula dalam berjuang karena Allah SWT pasti akan menolong dan mendukungnya. Baik dukungan berupa kemudahan dalam urusan, jalan keluar atas persoalan yang dihadapi maupun tambahan rizki yang tiada diduga-duga arahnya. Apapun, Allah SWT pasti akan menjadi penolong orang-orang yang istiqamah dijalan-Nya.
“Hai orang-orang yang beriman, mintalah pertolongan dengan sabar dan shalat. Sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar.” (QS. al-Baqarah [2]: 153)
“Bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah bersama dengan orang-orang yang bertakwa.” (QS. al-Baqarah [2]: 194)
“Dan barang siapa yang benar-benar bertaqwa kepada Allah, akan diberikan kepadanya (makhrajan) jalan keluar dan akan diberinya rizki dari arah yang tiada diduga-duga, Dan barang siapa bertawakal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya.” (QS. at-Thalaq [65]: 2-3)
“Dan barang siapa yang benar-benar bertaqwa kepada Allah akan dijadikan untuknya kemudahan urusannya.” (QS. at-Thalaq [65]: 4)
“Sesungguhnya orang-orang yang istiqamah menyatakan Rab kami Allah, akan turun kepada mereka malaikat seraya mengatakan janganlah engkau takut dan khawatir. Dan berikan khabar gembira untuk mereka dengan surga yang dijanjikan. Kami-lah pelindungmu didalam kehidupan dunia dan akhirat.” (QS. Fushilat [41]: 30-31)
Pertolongan Allah SWT seperti itu bukan hanya berlaku untuk para Nabi, Rasul SAW dan sahabatnya saja. Sebaliknya, hal itu akan diterima juga oleh mereka yang beriman dan membela agama Allah Pencipta Semesta. Dia telah berjanji:
“Dan adalah hak Kami untuk menolong kaum mukmin” (QS. ar-Rûm [30]: 47)
Jelaslah, kebersamaan Allah SWT yang khusus berupa ta`yîdullâh dan nashrullâh tadi hanya diberikan kepada mereka yang taat kepadanya. Oleh sebab itu, ikrar syahadat yang diungkapkan diikuti dengan ketundukan kepada-Nya akan menjadikan pelakunya senantiasa dilindungi, didukung dan diberi pertolongan oleh Allah Dzat Maha Penolong.
2. Mahabbah dan Ridha
Orang yang bertauhid lurus juga akan memiliki rasa cinta (mahabbah) kepada Allah SWT dan ridla kepada-Nya. Hal ini digambarkan didalam surat at-Taubah [9] ayat 24. Dalam ayat itu Allah SWT berfirman:
“Katakanlah: ‘Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, karib keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatirkan kerugiannya dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai lebih kamu cintai daripada Allah dan Rasul-Nya dan dari jihad dijalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang fasik.” (QS. at-Taubah [9]: 24)
Berdasarkan ayat diatas, maka al-mahabbah (kecintaan) terbagi menjadi tiga: pertama: al-mahabbatu al-ûla, yaitu kecintaan kepada Allah SWT, Rasul SAW dan jihad fi sabilillah. Kedua: al-mahabbatu al-wustha, yaitu kecintaan kepada selain Allah SWT, Rasul SAW dan jihad fi sabilillah yang diijinkan, misalnya pada ibu-bapak, anak-anak, suami-istri, karib-kerabat, harta-benda dan sebagainya. Ketiga: al-mahabbatu al-adna, yaitu kecintaan kepada ibu-bapak, anak-anak, suami-istri, karib-kerabat, harta benda dan sebagainya melebihi kecintaannya kepada Allah SWT, Rasul SAW dan Jihad.
Secara fitri sebagai wujud dari gharizatu al-baqa’ dan gharizatu al-nau’, manusia cenderung menyukai harta dan mencintai sesama manusia. Dan ini tidak salah ! Akan tetapi, ketika seseorang muslim telah menyatakan bertauhid maka posisi Allah SWT dan Rasul-Nya menempati posisi utama, lebih dari yang lain sebagaimana ditunjukkan oleh ayat diatas. Kecintaan utama kepada Allah SWT dan Rasul-Nya mendorongnya untuk taat dan menjauhi maksiyat. Termasuk ketika jihad memanggil, dengan ringan ia memenuhi panggilan itu seraya meninggalkan semua hal yang dicintainya. Sebab, bukti seseorang cinta kepada Allah SWT adalah mentaati Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW, manusia pilihan utusan-Nya. Berkaitan dengan hal ini Allah SWT berfirman:
“Katakanlah, jika kamu benar-benar mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mencintai dan mengampuni dosamu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Ali Imran [3]: 31)
“Dan diantara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah. Mereka mencintainya sebagaimana mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman sangat cinta kepada Allah.” (QS. al-Baqarah [2]: 165)
Ungkapan kecintaan tanpa ketaatan hanyalah merupakan kedustaan. Misalkan saja, ada seorang mahasiswa yang mudik saat ‘Idul fithri. Sesampainya di rumah, ibu tersayangnya sedang berbaring. Ibunya sakit. “Saya sangat sayang pada ibu. Saya betul-betul cinta pada ibu. Hampir setiap saat saya merindukan ibu. Ingin rasanya menunjukkan kecintaan pada ibu,” ujarnya. Keesokan harinya, sang ibu memanggil. Ia meminta anaknya itu membelikan obat di apotik. “Wah, bu, saya ‘kan mahasiswa. Masa, membeli obat saja harus oleh saya. Oleh si adik aja, deh ! Apalagi saya tanggung lagi membaca buku nih,” jawabnya. Ia mengaku cinta pada ibunya, namun tak menuruti perintah sang ibu. Benarkah pernyataan kecintaannya itu? Tidak ! Begitu pula ungkapan kecintaan seorang hamba kepada Allah SWT. Tidak ada cinta kepada Allah Pemelihara Alam tanpa ketaatan kepada Dia dan Rasul-Nya. Ungkapan ‘Uhibbullâha’ (aku mencintai Allah SWT) hanyalah dusta terhadap diri sendiri dan Allah SWT bila berhenti pada pengakuan yang kosong dari ketaatan. Karenanya, bukti dari kecintaan kepada Allah SWT, sekali lagi, adalah ketaatan kepada Islam yang dibawa oleh Rasulullah Muhammad SAW.
Kecintaan kepada Allah SWT, Rasul SAW dan jihad fi sabilillah ini haruslah menjadi dasar bagi kecintaan terhadap perkara lainnya. Artinya, kecintaan kepada ibu-bapak, anak-anak, suami-istri, karib-kerabat, harta-benda dan sebagainya haruslah dalam rangka ketaatan kepada-Nya. Hal ini baru dapat terjadi apabila kecintaan kepada selain Allah SWT, Rasul SAW dan jihad tadi dilakukan dalam perkara yang dibolehkan oleh Islam. Sedangkan, andai saja dalam suatu kondisi terdapat pertentangan antara hukum Islam dengan kecintaan kepada Allah Maha Kuasa, Rasul dan jihad fi sabilillah maka yang harus dijadikan pegangan adalah aturan Islam tersebut. Bila tidak, orang tersebut telah lebih mengutamakan al-mahabbatu al-wustha melebihi al-mahabbatu al-ûla yang berarti cintanya berada pada posisi al-mahabbatu al-adna. Padahal, hal ini tidak boleh.
Sebagai misal, ada seorang perempuan muslimah yang ditaksir oleh seorang laki-laki non muslim. Dengan alasan saling mencintai ia hendak memutuskan untuk menikah. Apalagi didorong oleh ketertarikannya kepada harta laki-laki kafir tadi. Padahal, Allah SWT melarang perempuan muslimah menikah dengan laki-laki non muslim apapun agamanya (QS. 5:17, 5:73, 98:1, 60:10, 2:221). Bila ia lebih mencintai Allah SWT dan Rasul-Nya niscaya ia tidak akan pernah mau menikah dengan laki-laki non muslim sekalipun wajah laki-laki itu sangat mempesona baginya, sikapnya pun menawan hatinya, dia nampak sangat baik, budi bahasanya boleh jadi ia pandang lebih baik dari yang lain, kedudukannya lumayan, kehidupannya juga sudah mapan. Semua itu tidaklah berarti baginya. Ia rela mengorbankan semuanya asalkan Allah SWT ridla kepadanya. “Cinta kepada Allah SWT haruslah di atas cinta kepada yang lainnya,” ujarnya.
Di Ambon, saat kaum muslim di sana dibantai oleh orang-orang kafir sejak ‘Idul fithri 1999, penduduk sana yang lebih mencintai Allah SWT, Rasulullah dan jihad fi sabilillah rela meninggalkan anak, isteri dan harta yang dimilikinya demi melawan kaum kafir yang menghancurkan mereka. Ia amankan anak dan isterinya, lalu melenggang ke medan perjuangan membela Islam dan kaum muslim. Betul, ia sedih berpisah dengan anaknya, tersayat hati jauh dari isterinya, namun lebih pedih lagi menyaksikan kaum muslim dimusnahkan dan Islam hendak disingkirkan dari buminya sendiri.
Begitu pula, sehari setelah hancurnya gedung WTC 11 September 2001, Amerika menerapkan politik carrot and stick dengan menawarkan bantuan bagi para penguasa yang mendukung mereka, dan sebaliknya mengancam menghentikan hutang, menyerbu dan mengkategorikan penguasa yang tidak mendukungnya sebagai teroris. Penguasa muslim yang lebih mencintai Allah SWT tidak akan berada di barisan AS, tidak akan mendukung AS untuk memporakporandakan negeri muslim Afghanistan tempat tinggal Osama bin Laden yang dituding mendalangi peruntuhan WTC –yang hingga detik ini belum terbukti–. Memang, bila tidak berada di blok AS niscaya ekonomi akan dipersulit. Namun, Allah SWT melarang menjadikan orang-orang kafir sebagai wali (QS. 3:28, 4:144, 5:51, 5:81, 9:23). Sebaliknya, penguasa muslim yang mengutamakan cinta pada kekuasaannya melebihi cintanya kepada Allah Rabbul ‘Âlamîn akan mengikuti kehendak AS.
Di Palestina sampai saat ini (akhisr Mei 2002) Israel masih terus menggempur muslim Palestina. Perlawanan yang bisa dilakukan pun sekedar perlawanan dengan lemparan kerikil dan ketepel menghadapi tank dan helikopter. Para pemuda pun banyak yang berguguran. Bahkan, demi mengusir Israel mereka rela melakukan aktivitas mencari mati syahid (istisyhâd) dengan meledakkan bom. Namun, demikian tak jarang ibu-ibu di sana gembira saat mendengar anaknya meninggal dalam aktivitas syahid tadi. Ia bukan tidak cinta kepada anaknya, namun cinta kepada Allah SWT, Rasul dan jihad fi sabîlillâh lebih ia utamakan.
Demikianlah, dalam setiap sikapnya seorang muslim diwajibkan menjadikan cinta kepada Allah Dzat Maha Bijaksana melebihi cinta kepada selainnya. Kecintaan kepada Allah swt. dijadikannya sebagai sumber untuk cinta kepada yang lainnya.
Selain itu, didasarkan pada keyakinan akan keserbamahaan Allah SWT seorang muslim bertauhid lurus akan merasa ridla terhadap segala apapun yang ditetapkan oleh Allah SWT. Dia meyakini bahwa Allah Dzat Maha Adil lebih mengetahui daripada manusia, Dialah yang mengetahui apa yang baik dan sesuai bagi manusia serta apa yang dapat membuatnya rusak, Dialah yang mengetahui apa yang mudharat bagi manusia dan apa yang bermanfaat bagi manusia. Sebab, Dia itulah Pencipta manusia dan Pencipta segala sesuatu. Karenanya, ketika Allah SWT menyatakan bahwa hanya Islam yang diterima di sisi Allah SWT (QS. Ali Imrân[3]:19, 85; Al Fath[48]:13) ia ridla terhadap ketetapan tersebut. Demikian pula saat Allah SWT mewajibkan shalat, shaum, jilbab, jihad, berbakti kepada orang tua, mendirikan Khilafah Islamiyyah, dan aturan lainnya, ia ridla terhadap ketentuan tersebut. Begitu pula dalam masalah-masalah lainnya. Ia ridla menerima segala ketentuan yang telah ditetapkan Allah SWT bagi mereka.
3. Tsiqah bi Wa’dillâh
Tsiqah bi Wa’dillâh, artinya percaya dengan janji Allah SWT. Seorang muslim wajib mempercayai janji Allah SWT, baik yang termaktub dalam al-Qur’an maupun yang disampaikan-Nya melalui lisan Nabi-Nya dalam hadist-hadist. Dengan mempercayai janji Allah SWT, seorang muslim sesungguhnya telah mempunyai sikap hidup yang unik. Yakni sikap hidup muslim yang tidak hanya bertumpu pada kenyataan atau tantangan yang ada, tetapi bertumpu pada kepercayaan mutlak akan janji Allah SWT. Sehingga, betapapun buruknya kenyataan yang ada atau betapa pun beratnya tantangan yang menghadang, ia akan menghadapinya dengan teguh dan tegar, bahkan dengan bersemangat. Tidak putus asa. Ia meyakini secara pasti, bahwa setiap kesulitan akan selalu diikuti dengan kemudahan, bahwa kemenangan akan berpihak kepada orang-orang mukmin dan bahwa Allah SWT akan memenangkan Islam atas agama-agama yang lain, walaupun orang-orang kafir membencinya.
Percaya kepada janji Allah SWT berpangkal dari iman, bahwa janji Allah SWT pastilah benar. Allah SWT tidak mungkin mengingkarinya dan tidak mungkin Allah SWT tidak mampu menepati janjinya itu. Jadi, janji Allah  tidak mungkin meleset. Allah SWT mempunyai kuasa (qudrah) untuk mewujudkan janji itu. Allah SWT adalah Maha Berkuasa (qadîr) atas segala sesuatu. Allah SWT telah mengaitkan janji kemenangan dengan sifat-Nya Yang Maha Kuasa:
“Maka bersabarlah kamu, sesungguhnya janji Allah adalah benar, Dan sekali-kali janganlah orang-orang yang tidak meyakini kebenaran ayat-ayat Allah itu menggelisahkan kamu.” (QS. ar-Ruum [30]: 60)
“Dan (Allah telah menjanjikan pula kemenangan-kemenangan) yang lain (atas negeri-negeri) yang kamu belum dapat menguasainya, yang sungguh Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS. al-Fath [48]: 21)
Jika Allah SWT telah menjanjikan sesuatu kepada hamba-Nya, niscaya Allah SWT tidak akan menyalahi janji-Nya itu. Allah SWT telah menfirmankan hal itu dalam satu ayat-Nya, yang merupakan salah satu bentuk do’a bagi seorang muslim yang percaya kepada janji-Nya:
“Ya Tuhan kami, berilah kami apa yang telah Engkau janjikan kepada kami dengan perantaraan rasul-rasul Engkau. Dan janganlah Engkau hinakan kami pada Hari Kiamat. Sesungguhnya Engkau tidak menyalahi janji.” (QS. Ali Imran [3]: 194)
Disamping itu, secara faktual sebagaimana ditunjukkan oleh sejarah, janji Allah memang terbukti benar. Dalam berbagai riwayat hadist, Rasulullah SAW juga telah menjanjikan kemenangan dan pembebasan dari kesusahan dalam berbagai kesempatan. Berkaitan dengan penaklukan jazirah Arab dan Romawi, Rasulullah SAW bersabda:
“Kalian akan memerangi jazirah Arab lalu Allah menaklukkannya, kemudian kalian akan memerangi Romawi lalu Allah menaklukkannya.” (HR. Muslim)
Tentang penaklukkan Mesir, Rasulullah SAW bersabda:
“Mesir akan ditaklukkan. Dia adalah negeri yang didalamnya disebut al-Qirath. Aku wasiatkan, hendaklah kalian berlaku baik terhadap penduduknya.” (HR. Muslim)
Rasulullah SAW juga telah mengabarkan kepastian penaklukan Konstantinopel (sekarang Istambul) sekitar delapan abad sebelum ditaklukkanya kota itu. Rasulullah SAW bersabda:
“Sungguh Konstantinopel pasti akan ditaklukkan. Maka sebaik-baik pemimpin adalah pemimpin penaklukkan kota itu dan sebaik-baik pasukan adalah pasukan yang menaklukkan kota itu.”
Demikianlah janji-janji Allah SWT dan Rasuln-Nya. Lalu, apakah janji-janji itu telah menyalahi kenyataan? Fakta sejarah membuktikan bahwa Islam telah menang dan Daulah Islamiyyah berdiri di Madinah. Kemusyrikan terhapus dari jazirah Arab. Persia dan Romawi hilang eksistensinya. Konstantinopel pun akhirnya ditaklukkan oleh Muhammad Al Fatih pada tahun 1453.
Namun demikian, percaya kepada janji Allah SWT menuntut adanya sifat, sikap dan perbuatan tertentu dari seorang muslim. Sebab, janji Allah SWT hanya akan diberikan kepada orang-orang yang beriman, beramal shaleh dan menolong atau memperjuangkan agama Allah. Allah SWT. berfirman :
“Hai orang-orang beriman, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu.” (QS. Muhammad [47]: 7)
Ayat diatas menerangkan, bahwa pertolongan Allah –sebagai salah satu janji Allah— hanya akan diberikan kepada orang yang beriman yang memperjuangkan dan mendakwahkan agama Islam. Jadi, janji Allah SWT tidak akan diberikan kepada mereka yang tidak beriman atau yang bertopang dagu saja, tidak mendakwahkan Islam.
“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman diantara kamu dan mengerjakan amal-amal shaleh, bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa.” (QS. an-Nuur [24]: 55)
Dalam ayat diatas, Allah SWT telah menjanjikan kekuasaan kepada kaum muslimin. Tetapi, janji Allah SWT ini menuntut adanya keimanan dan amal-amal shaleh yang diperlukan, agar janji Allah Al Khâliq itu terwujud secara nyata.
Dengan demikian, percaya kepada janji Allah ar-Rahmân dapat dikatakan merupakan suatu energi dinamis bagi seorang muslim. Janji Allah SWT tidak akan membiusnya untuk berleha-leha atau berandai-andai, namun sebaliknya akan mendorongnya untuk berbuat dan bertindak, agar janji Allah SWT itu terwujud dalam kenyataan.
Berdasarkan bahasan di atas, dengan menghunjamkan kalimat syahadat tauhid akan menjadikan seorang muslim senantiasa merasa diawasi oleh Allah SWT yang dibuktikan dengan ketaatan kepada-Nya. Juga, akan dominan kecintaan dan keridloan kepada Allah SWT, Penciptanya. Ia pun akan terus berjuang penuh keyakinan kepada janji Allah Dzat Maha Bijaksana kepada hamba-hambanya yang beriman.
“Ya Allah, berilah kami rasa takut kepada-Mu, yang dapat menghalangi dengan rasa takut itu antara kami dan bermaksiyat kepada-Mu. Berilah kami ketaatan kepada-Mu yang dapat menyampaikan kami dengannya ke surga-Mu. Berilah kami keyakinan yang dapat meringankan musibah dunia yang menimpa kami. Ya Allah, berilah kami kepuasan dengan pendengaran-pendengaran kami, penglihatan-penglihatan kami, kekuatan-kekuatan kami selama Engkau memberi hidup kepada kami dan jadikanlah semua itu yang mewarisi kami (janganlah sampai Kau tinggalkan semua itu sebelum kami meninggal). Balaslah orang-orang yang berbuat aniaya kepada kami, tolonglah kami dalam menghadapi musuh-musuh kami. Janganlah Engkau menimpakan cobaan dalam agama kami, janganlah Engkau menjadikan dunia ini menjadi tujuan utama kami serta janganlah Engkau jadikan orang yang tidak mempunyai rasa belas kasihan kepada kami menjadi pemimpin kami.”

1 comment:

  1. Hari ini kaum Muslimin berada dalam situasi di mana aturan-aturan kafir sedang diterapkan. Maka realitas tanah-tanah Muslim saat ini adalah sebagaimana Rasulullah Saw. di Makkah sebelum Negara Islam didirikan di Madinah. Oleh karena itu, dalam rangka bekerja untuk pendirian Negara Islam, kelompok ini perlu mengikuti contoh yang terbangun di dalam Sirah. Dalam memeriksa periode Mekkah, hingga pendirian Negara Islam di Madinah, kita melihat bahwa RasulAllah Saw. melalui beberapa tahap spesifik dan jelas dan mengerjakan beberapa aksi spesifik dalam tahap-tahap itu

    ReplyDelete